Oleh
Sayyed Vali Reza Nasr
Department of Political Science
University of San Diego, California
Alih Bahasa
Abdul Kholiq Saman
Sayyed Vali Reza Nasr
Department of Political Science
University of San Diego, California
Alih Bahasa
Abdul Kholiq Saman
Maulana Sayyed Abul ‘Ala Maudoodi1, pendiri Jama’at-I-Islami (Partai Islam)2 merupakan sosok yang paling berpengaruh dan produktif dalam kebangkitan semula pemikir-pemikir muslim kontemporer3. Ide-idenya yang besar sangat mempengaruhi terhadap kebangkit Islam dari Malaysia sampai ke Marokko. Dampak tulisanya yang berhubungan dengan Islam juga sangat jelas mempengaruhi cara berfikir dan aksi kebangkitan Islam di dunia Arab, Iran, Asia Tengah dan negara-negara di Asia Tenggara4. Pada hakikatnya bisa dikatakan bahwa Maudoodi adalah salah seorang diantara arkitek-arkitek kebangkitan Islam kontemporer, walaupun beliau bukan sebagai central figur dari kebangkitan tersebut.
Tulisan-tulisanya yang produktif tidak hanya membuat beliau terkenal sebagai pelopor kebangkitan pemikiran Islam dizamanya, akan tetapi juga menegaskan posisinya sebagai kekuatan terpenting dalam tradisi keilmuan agama. Tafsir “Tafhim-ul-Quran” (Understanding the Quran) yang beliau mulai tulis pada tahun 1942 dan selesai pada tahun 1972, merupakan salah satu tafsir dalam bahasa Urdu (Bahasa resmi Pakistan, pent) yang paling banyak dibaca pada hari ini. Ditulis dengan bahasa yang sangat mudah untuk difahami oleh orang banyak. Tafhi-ul-Quran mendukung atas kebangkitan penterjemahan teks Al-Quran lainnya, ianya juga mendapat tempat di antara para ilmuan-ilmuan Islam klasik di Asia Selatan. Dalam kebanyakan tulisanya, Maudoodi mengelaborasi pandangannya terhadap agama, sosial, ekonomi dan politik. Gabungan semua ini secara logis dan sistematik dalam mentafsirkan Islam adalah salah satu tujuan dalam memobilisasi orang-orang muslim terhadap aksi politik.
Dalam perspektif ideologi, Maudoodi merupakan salah seorang pendorong dan orang yang berbicara panjang lebar tentang artikulasi posisi kebangkitan, mempengaruhi terhadap terbukanya kran-kran kebangkitan di dunia Islam lainnya. Para ahli pemikiran di dunia Islam dimana saja berada baik di Iran, Mesir, Sudan dan Afrika Utara turut andil dalam kontribusi besar terhadap kebangkitan Islam, dan juga menjadi sebab dalam mempromosikan ideologi. Konstribusi Maudoodi sendiri terhadap kebangkitan umat Islam sampai hari ini sangat signifikan, karena Maudoodilah yang membangun kerangka ideologi kebangkitan disemua agenda politik. Walaupun dalam prakteknya disemua negara – hasil pemikiran tadi – sangat berbeda. Beliau menata parameter kebangkitan sebuah negara dan masyrakat melalui pidato dan tulisan, serta memberi ide-ide yang jelas dengan penuh semangat kepada revivalist lainnya. Konsep “Ideologi Islam”, “Revolusi Islam”, “Recontraction of the prophetic Comunity, dan “An Islamic Organization Solution” dan semua yang berhubung erat dengan kebangkitan Islam hari ini, beliaulah orang yang pertama memperkenalkan dan mendefinisikan konsep itu. Telah bertahun-tahun kebangkitan Islam berkembang dengan berbagai cara dan jalan yang ditempuh, ternyata karya Maudoodi masih relevan untuk dijadikan bahan rujukan bagi generasi kebangkitan akan datang. Oleh karena itu, agar lebih memahami sifat dasar tentang kebangkitan Islam – yang diperkenalkan oleh Maudoodi – sangat penting untuk diketahui bagaimana dan kenapa Maudoodi membangun ide, konsep dan model organisasi politik serta tindak-tanduknya. Pada hakikatnya, ini semua dapat difahami dihalaman-halaman berikut. Segala bentuk definisi yang digunakan oleh pergerakan kebangkitan Islam hari ini bisa di fahami melalui konteks yang pertama kali di bentuk oleh Maudoodi.
Karya-karya Maudoodi yang berbicara tentang Islam dipaparkan dalam bahasa yang penuh dengan kesejukan, peperangan antara Islam dan Kufur – Barat dan kebudayaan Muslim di India – merupakan salah satu sentral kekuatan sejarah dalam kemajuan masyarakat muslim di India. Perjuangan ini mendesak Maudoodi untuk mendirikan sebuah negara Islam untuk mengawasi perbaikan masyarakat dalam skala besar dan juga untuk mencapai kekuatan masyarakat itu sendiri. Akhirnya Maudoodi menginterprestasikan Islam sebagai mobilisasi keyakinan yang harus diikutsertakan dalam semua aksi politik. Artinya, Islam harus di pandang sebagai satu sistem kepercayaan yang mengabungkan antara kebaikan dengan kepatuhan yang kuat terhadap kehendak Allah dalam segala tingkah laku dan kepercayaan. Ianya harus mempunyai kekuatan dan tujuan dalam membangun kebaikan-kebaikan dalam masyarakat dan politik. Maudoodi memperkenalkan beberapa istilah Islam, diantaranya: Ketuhanan (Ilah), Tuhan (Rabb), Ibadah (Worship), Agama (Religion) sebagai kunci. Kemudian mentafsirkannya serta memaparkan relasi antara satu dengan lainnya. Seperti aksi sosial yang menjadi tujuan akhir dari proses kebaikan dan juga Islam sendiri menjadikan roda dalam setiap aksi-aksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Meskipun sudah bertahun-tahun aktivitasnya berjalan, disebarkan melalui karya-karyanya yang berhubungan dengan Islam serta polemiknya terhadap revolusi Islam, pendekatan politik Maudoodi masih jauh dari realita revolusi yang sebenarnya. Beliau terus dan menyakini bahwa perubahan sosial dalam masyarakat tidak akan berhasil dicapai melalui pengulingan penguasa politik dengan kekerasan, akan tetapi perubahan itu akan bisa dicapai dengan merubah cara berfikirnya para elit politik dan memulai memperbaiki orang-orang yang mempunyai kekuasaan. Maudoodi menerangkan lebih lanjut, revolusi Islam merupakan salah satu dari proses Islamisasi negara dari dalam. Oleh karena itu, beliau dengan aktif menolak kekerasan dalam mempromosikan Islam, dan sekali lagi beliau menegaskan bahwa negara Islam yang ideal merupakan sebuah negara yang menerapkan demokrasi, “theodemocracy” atau “Democratic caliphate” secara tepat.
Pendidikan harus mampu menjadi agen dalam setiap proses revolusi yang ada. Melalui pendidikan akan lahir sebuah masyarakat yang pintar dan cemerlang. Para elit politik dan para intelektualnya akan mempunyai pemahaman yang jelas terhadap agama mereka sendiri. Perubahan mereka akan memberi dampak sangat positif terhadap pendidikan masyarakat juga membangun kerangka pemerintahan dan semua institusi sosial yang dipengaruhi oleh pandangan Islam. Perubahan ditubuh para elit politik merupakan revolusi terhadap masyarakat yang akhirnya akan melahirkan negara dan masyrakat Islam yang ideal.
Mengenai hal ini, posisi Maudoodi sangat jelas melalui politik Jama’at-i-Islami. Partai ini, setelah berdirinya negara pakistan bergabung dengan proses perpolitikan yang bertujuan untuk membentuk sebuah pemerintahan dan mulai menyebarkan sayapnya dikalangan pelajar, birokrasi dan para guru, sepenuhnya mengharapkan untuk melihat revolusi dari kalangan atasan bisa diujudkan. Pendekatan yang Maudoodi lakukan berbeda dengan visi Ayatullah Khomaini dalam revolusi Islam, walaupun hingga kini Jama’at-i-Islami masih gagal untuk merebut kekuasan di Pakistan, akan tetapi Maudoodi telah berhasil dalam memberi contoh terhadap sebuah kebangkitan Islam dalam setiap aksi sosial. Hal ini dapat dibuktikan dari partisipasi partai-partai Islam dalam proses pemilihan umum (election) dari Algeria sampai ke Malaysia, yang menjadi hal penting dalam mempertajam sikap politik dikalangan partai-partai kebangkitan di dunia Islam.
Tulisan-tulisanya yang produktif tidak hanya membuat beliau terkenal sebagai pelopor kebangkitan pemikiran Islam dizamanya, akan tetapi juga menegaskan posisinya sebagai kekuatan terpenting dalam tradisi keilmuan agama. Tafsir “Tafhim-ul-Quran” (Understanding the Quran) yang beliau mulai tulis pada tahun 1942 dan selesai pada tahun 1972, merupakan salah satu tafsir dalam bahasa Urdu (Bahasa resmi Pakistan, pent) yang paling banyak dibaca pada hari ini. Ditulis dengan bahasa yang sangat mudah untuk difahami oleh orang banyak. Tafhi-ul-Quran mendukung atas kebangkitan penterjemahan teks Al-Quran lainnya, ianya juga mendapat tempat di antara para ilmuan-ilmuan Islam klasik di Asia Selatan. Dalam kebanyakan tulisanya, Maudoodi mengelaborasi pandangannya terhadap agama, sosial, ekonomi dan politik. Gabungan semua ini secara logis dan sistematik dalam mentafsirkan Islam adalah salah satu tujuan dalam memobilisasi orang-orang muslim terhadap aksi politik.
Dalam perspektif ideologi, Maudoodi merupakan salah seorang pendorong dan orang yang berbicara panjang lebar tentang artikulasi posisi kebangkitan, mempengaruhi terhadap terbukanya kran-kran kebangkitan di dunia Islam lainnya. Para ahli pemikiran di dunia Islam dimana saja berada baik di Iran, Mesir, Sudan dan Afrika Utara turut andil dalam kontribusi besar terhadap kebangkitan Islam, dan juga menjadi sebab dalam mempromosikan ideologi. Konstribusi Maudoodi sendiri terhadap kebangkitan umat Islam sampai hari ini sangat signifikan, karena Maudoodilah yang membangun kerangka ideologi kebangkitan disemua agenda politik. Walaupun dalam prakteknya disemua negara – hasil pemikiran tadi – sangat berbeda. Beliau menata parameter kebangkitan sebuah negara dan masyrakat melalui pidato dan tulisan, serta memberi ide-ide yang jelas dengan penuh semangat kepada revivalist lainnya. Konsep “Ideologi Islam”, “Revolusi Islam”, “Recontraction of the prophetic Comunity, dan “An Islamic Organization Solution” dan semua yang berhubung erat dengan kebangkitan Islam hari ini, beliaulah orang yang pertama memperkenalkan dan mendefinisikan konsep itu. Telah bertahun-tahun kebangkitan Islam berkembang dengan berbagai cara dan jalan yang ditempuh, ternyata karya Maudoodi masih relevan untuk dijadikan bahan rujukan bagi generasi kebangkitan akan datang. Oleh karena itu, agar lebih memahami sifat dasar tentang kebangkitan Islam – yang diperkenalkan oleh Maudoodi – sangat penting untuk diketahui bagaimana dan kenapa Maudoodi membangun ide, konsep dan model organisasi politik serta tindak-tanduknya. Pada hakikatnya, ini semua dapat difahami dihalaman-halaman berikut. Segala bentuk definisi yang digunakan oleh pergerakan kebangkitan Islam hari ini bisa di fahami melalui konteks yang pertama kali di bentuk oleh Maudoodi.
Karya-karya Maudoodi yang berbicara tentang Islam dipaparkan dalam bahasa yang penuh dengan kesejukan, peperangan antara Islam dan Kufur – Barat dan kebudayaan Muslim di India – merupakan salah satu sentral kekuatan sejarah dalam kemajuan masyarakat muslim di India. Perjuangan ini mendesak Maudoodi untuk mendirikan sebuah negara Islam untuk mengawasi perbaikan masyarakat dalam skala besar dan juga untuk mencapai kekuatan masyarakat itu sendiri. Akhirnya Maudoodi menginterprestasikan Islam sebagai mobilisasi keyakinan yang harus diikutsertakan dalam semua aksi politik. Artinya, Islam harus di pandang sebagai satu sistem kepercayaan yang mengabungkan antara kebaikan dengan kepatuhan yang kuat terhadap kehendak Allah dalam segala tingkah laku dan kepercayaan. Ianya harus mempunyai kekuatan dan tujuan dalam membangun kebaikan-kebaikan dalam masyarakat dan politik. Maudoodi memperkenalkan beberapa istilah Islam, diantaranya: Ketuhanan (Ilah), Tuhan (Rabb), Ibadah (Worship), Agama (Religion) sebagai kunci. Kemudian mentafsirkannya serta memaparkan relasi antara satu dengan lainnya. Seperti aksi sosial yang menjadi tujuan akhir dari proses kebaikan dan juga Islam sendiri menjadikan roda dalam setiap aksi-aksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Meskipun sudah bertahun-tahun aktivitasnya berjalan, disebarkan melalui karya-karyanya yang berhubungan dengan Islam serta polemiknya terhadap revolusi Islam, pendekatan politik Maudoodi masih jauh dari realita revolusi yang sebenarnya. Beliau terus dan menyakini bahwa perubahan sosial dalam masyarakat tidak akan berhasil dicapai melalui pengulingan penguasa politik dengan kekerasan, akan tetapi perubahan itu akan bisa dicapai dengan merubah cara berfikirnya para elit politik dan memulai memperbaiki orang-orang yang mempunyai kekuasaan. Maudoodi menerangkan lebih lanjut, revolusi Islam merupakan salah satu dari proses Islamisasi negara dari dalam. Oleh karena itu, beliau dengan aktif menolak kekerasan dalam mempromosikan Islam, dan sekali lagi beliau menegaskan bahwa negara Islam yang ideal merupakan sebuah negara yang menerapkan demokrasi, “theodemocracy” atau “Democratic caliphate” secara tepat.
Pendidikan harus mampu menjadi agen dalam setiap proses revolusi yang ada. Melalui pendidikan akan lahir sebuah masyarakat yang pintar dan cemerlang. Para elit politik dan para intelektualnya akan mempunyai pemahaman yang jelas terhadap agama mereka sendiri. Perubahan mereka akan memberi dampak sangat positif terhadap pendidikan masyarakat juga membangun kerangka pemerintahan dan semua institusi sosial yang dipengaruhi oleh pandangan Islam. Perubahan ditubuh para elit politik merupakan revolusi terhadap masyarakat yang akhirnya akan melahirkan negara dan masyrakat Islam yang ideal.
Mengenai hal ini, posisi Maudoodi sangat jelas melalui politik Jama’at-i-Islami. Partai ini, setelah berdirinya negara pakistan bergabung dengan proses perpolitikan yang bertujuan untuk membentuk sebuah pemerintahan dan mulai menyebarkan sayapnya dikalangan pelajar, birokrasi dan para guru, sepenuhnya mengharapkan untuk melihat revolusi dari kalangan atasan bisa diujudkan. Pendekatan yang Maudoodi lakukan berbeda dengan visi Ayatullah Khomaini dalam revolusi Islam, walaupun hingga kini Jama’at-i-Islami masih gagal untuk merebut kekuasan di Pakistan, akan tetapi Maudoodi telah berhasil dalam memberi contoh terhadap sebuah kebangkitan Islam dalam setiap aksi sosial. Hal ini dapat dibuktikan dari partisipasi partai-partai Islam dalam proses pemilihan umum (election) dari Algeria sampai ke Malaysia, yang menjadi hal penting dalam mempertajam sikap politik dikalangan partai-partai kebangkitan di dunia Islam.
#####
Pandangan-pandangan Maudoodi tetang perpolitikan dunia mulai menajam ketika terjadinya komplik dan huru-hara dalam kehidupan orang-orang muslim India. Penjajah British yang sejak kedatangan mereka membuat orang-orang muslim menghadapi berbagai kesulitan dalam memilih antara politik komunis dan menuntut untuk merdeka dan aliansi nasionalis sekuler yang diketuai oleh Partai Kongres. Perubahan bentuk kehidupan dan perpolitikan orang-orang muslim membuat cara berfikirnya Maudoodi semakain tajam, dan terkenal sebagi seorang revivalist yang menterjemahkan Islam. Riwayat hidup beliau memberi keterangan yang lengkap terhadap faktor-faktor yang telah beliau perankan dan memberi peluang kepada pelajar Islam kontemporer untuk memahami sifat hubungan antara perubahan sociopolitik dan perubahan ideologisasi kepercayaan dalam dunia Islam.
Biografi ini ditulis pada tahun 1932 oleh teman Maudoodi, Sayyed Manzar Ali yang dihimpun dalam bukunya Tazkirah (koleksi riwayat hidup) Muslim Hyderabad, Daccan. Tahun 1932 adalah tahun kritikal bagi kehidupan Maudoodi, dimana pada tahun tersebut beliau mulai menerbitkan hasil fikiranya melalui jurnal “Tarjuman Al-Quran” yang membahas tentang kebangkitan Islam, sosial dan tanggungjawab politik bagi orang muslim. Oleh karena itu, biografi ini ditulis dalam masa waktu kritikal bagi kehidupan beliau dan memfokuskan terhadap pokok-pokok kehidupan beliau yang beliau sendiri menggangap penting transformasi intelektual kepada seorang revivalist.
Biografi yang ringkas dan tanpa mengetahui sebab tidak sempurnanya, tetapi jelas serta penuh dengan kejujuran. Dan yang menarik lagi ianya ditulis dengan gaya bahasa Tazkirah orang muslim yang berbeda dengan biografi revivalist lainya. Aspek yang menarik dari biografi ini adalah bahwa Maudoodi menekankan kebudayaan Indo-Muslim seperti pentingnya silsilah keturunan, menghargai kebudayaan Sharif (tokoh agama), dan pertalian dengan para sufi – yang membawa nasib baik kepada Maudoodi, akan tetapi silsilah tersebut tidak menjadi identitas beliau sebagai seorang revivalist dan seperti yang terjadi di Jama’at-i-Islami. Para revivalist lain secara terbuka meragukan bahkan mengejek dan menghina terhadap silsilah Maudoodi yang dianggap tidak autentik bahkan ada kesan dibuat-buat. Oleh karena itu, biografi Maudoodi memperlihatkan hubungan lansung antara Maudoodi dengan Sharif, warisan sufi dan visi kebangkitan beliau terhadap Islam, yang tidak gunanya untuk ditambah. Risalah ringkas ini juga sepintas lalu menerangkan karakter-karakter kerja Maudoodi yang merupakan refleksi dari dedikasi beliau terhadap karya-karya atau reaksi yang beliau hadapi selama masih hidup.
Biografi ini pertama kali terbit pada tahun 1955, dan juga oleh Muhammad yusuf Buhtah, yang menyiapkan satu volume setelah meninggalnya Maudoodi pada tahun 1979. Biografi ini terbit dengan judul “Khud Niwisht” (Riwayat hidup) cetakan pertama dicetak oleh Maktabah-i-al-Habib, dan cetakan kedua oleh percetakan Buhtah dengan judul: Maulana Maudoodi: Apni Awr Dusrun ki Nazar Main (Maulana Maudoodi: menurut beliau sendiri dan pandangan orang lain) pada tahun 1980 terjemahan ini mengikuti cerita Maulana Maudoodi sendiri dan tanpa ada tambahan dari penulis.
Biografi ini ditulis pada tahun 1932 oleh teman Maudoodi, Sayyed Manzar Ali yang dihimpun dalam bukunya Tazkirah (koleksi riwayat hidup) Muslim Hyderabad, Daccan. Tahun 1932 adalah tahun kritikal bagi kehidupan Maudoodi, dimana pada tahun tersebut beliau mulai menerbitkan hasil fikiranya melalui jurnal “Tarjuman Al-Quran” yang membahas tentang kebangkitan Islam, sosial dan tanggungjawab politik bagi orang muslim. Oleh karena itu, biografi ini ditulis dalam masa waktu kritikal bagi kehidupan beliau dan memfokuskan terhadap pokok-pokok kehidupan beliau yang beliau sendiri menggangap penting transformasi intelektual kepada seorang revivalist.
Biografi yang ringkas dan tanpa mengetahui sebab tidak sempurnanya, tetapi jelas serta penuh dengan kejujuran. Dan yang menarik lagi ianya ditulis dengan gaya bahasa Tazkirah orang muslim yang berbeda dengan biografi revivalist lainya. Aspek yang menarik dari biografi ini adalah bahwa Maudoodi menekankan kebudayaan Indo-Muslim seperti pentingnya silsilah keturunan, menghargai kebudayaan Sharif (tokoh agama), dan pertalian dengan para sufi – yang membawa nasib baik kepada Maudoodi, akan tetapi silsilah tersebut tidak menjadi identitas beliau sebagai seorang revivalist dan seperti yang terjadi di Jama’at-i-Islami. Para revivalist lain secara terbuka meragukan bahkan mengejek dan menghina terhadap silsilah Maudoodi yang dianggap tidak autentik bahkan ada kesan dibuat-buat. Oleh karena itu, biografi Maudoodi memperlihatkan hubungan lansung antara Maudoodi dengan Sharif, warisan sufi dan visi kebangkitan beliau terhadap Islam, yang tidak gunanya untuk ditambah. Risalah ringkas ini juga sepintas lalu menerangkan karakter-karakter kerja Maudoodi yang merupakan refleksi dari dedikasi beliau terhadap karya-karya atau reaksi yang beliau hadapi selama masih hidup.
Biografi ini pertama kali terbit pada tahun 1955, dan juga oleh Muhammad yusuf Buhtah, yang menyiapkan satu volume setelah meninggalnya Maudoodi pada tahun 1979. Biografi ini terbit dengan judul “Khud Niwisht” (Riwayat hidup) cetakan pertama dicetak oleh Maktabah-i-al-Habib, dan cetakan kedua oleh percetakan Buhtah dengan judul: Maulana Maudoodi: Apni Awr Dusrun ki Nazar Main (Maulana Maudoodi: menurut beliau sendiri dan pandangan orang lain) pada tahun 1980 terjemahan ini mengikuti cerita Maulana Maudoodi sendiri dan tanpa ada tambahan dari penulis.
#####
Saya (Maudoodi, Pent) berasal dari sebuah keluarga yang memberi nasehat-nasehat spiritual kepada orang-orang muslim (irshad-u hidayah), yang hidup dalam kesederhanaan (faqr-u darwishi) selama 1300 tahun. Keturunan sayyid dari ahlil bayt banyak yang tinggal di sekitar Herat (kini dalam wilayah Afghanistan, Pent) yang setelah itu dikenal dengan sebutan Chisht. Abu Ahmad Abdal Chishti (wafat 355/965), adalah salah seorang yang terkenal dari kalangan keluarga ini, yang merupakan keturunan dari Imam Hasan ibn Ali Radhia Allah ‘Anhuma. Beliau juga terkenal dengan pendiri Tariqah Sufi Chishtiyyah. Nasir al-Din Abu Yusuf Chishti (wafat 459/1066) merupakan keturunan dari Abu Ahmad melalui anak perempuanya dan akhirnya menjadi mursyid Tariqah, yang berasal dari keturunan saadat (tunggal: Sayyid). Keturunannya kembali ke Imam Ali Naqi, dan berakhir silsilahnya ke Imam Husain Radhia Allah ‘Anhu. Khawaja Qutb al-Din Maudood Chishti (wafat 527/1132) adalah anak tertua Nasir al-Din, yang merupakan shaikh al-shuyukh dari semua Tariqah Chishti di India, dan keluarga Maudoodi berasal dari ketutunan beliau.
“Khwaja Mu’in al-Din Ajmiri ibn Uthman Harwani ibn
Jami Sharif Zindani ibn Khwaja Qutb al-Din Maudood.
Saya berasal dari keturunan keluarga Maudoodiyyah”
Keturunan keluarga Maudoodiyyah yang saya sendiri berasal darinya hijrah ke India dalam kurun kesembilan (sekitar kurun 15-16) pemimpin pertama mereka ketika hijrah ke India bernama Abul ‘Ala Maudoodi (wafat 932/1528){senama dengan Maudoodi}. Beliau datang ke India dari Chishti ketika pemerintahan Iskandar Lodhi (894-923/1489-1517) dan bertempat di kota Biras dekat Kirnal. Ketika pemerintahan Mongol Shah Alam (1173-1221/1760-1806) Keluarga Maudoodiyyah pindah ke Delhi. Sejak itu lima generasi dari famili tersebut tinggal di Delhi, dan generasi yang ke enam sekarang tinggal dibumi terpencil.
Keluarga sebelah ibu saya berasal dari keturunan Turki. Kakek sebelah ibu saya Mirza Qurban Ali Baig Khan Salik seorang penyair dan penulis. Dan keturunan beliau berkecimpung dibidang ketentaraan. Diantara kakek-kakek saya, Mirza Tulak hijrah dari Transoxania ke India pada zaman pemerintahan Awrangzaib (1068-1118/1658-1707) dan diberi kedudukan dalam ketentaraan. Sampai waktu raja Shah Alam memerintah keluarganya masih bekerja di istana. Sejak sistem kerajaan ditiadakan semua yang berada di istana raja diberhentikan dari pekerjaan mereka. Orang tua Salik, Nawwab Alam Baig Khan dan paman Nawwab Niyaz Bahadur datang ke Hyderabad. Waktu itu hari-hari terakhir bagi pemerintahan Mir Nizam Ali Khan. Di Hydarabad Niyaz Bahadur Khan menikahkan anak perempuan Nawwab Mustaqill Jang Izzat Al-Dawlah Ashur Baig Khan yang mempunyai hubungan lansung dengan paman saya melalui keturunannya. Pemerintah Asifiyyah mengganugerahkan kepada beliau titel (gelar) yang sama dan gelar kehormatan yang sebelumnya dianugerahkan oleh Mughol kepada keturunan-keturunan mereka. Niyaz Bahadur Khan mengantikan Ashur Baig sebagai Jagirnya (gelar turun-temurun) dan sebagai ketua penduduk setempat.
Alam Baig Khan, sementara itu menikahkan keluarga Abdul Rahim Khan, qil’ahdar (komander tentara) di Gulkondah. Dari perkawinan ini (Ali Baig Khan) Salik lahir. Pada tahun 1822 Nawwab Niyaz Bahadur Khan menjadi korban (meninggal) di Chanchilgurah dalam suatu pertempuran. Pertempuran ini dicatat panjang lebar dalam sejarah Deccan. Ada sebuah anekdot yang menarik tentang meninggalnya (Nawwab Niyaz Bahadur Khan) seperti berikut: “Dari pedang Shamshir Khan berakhirnya riwayat hidup Niyaz Bahadur Khan, dan dari pedang Niyaz Bahadur Khan berakhirnya riwayat Shamshir Khan”. Setelah musibah ini Alam Baig Khan membawa anaknya yang paling kecil (Mirza Salik) ke Delhi. Kemudian setelah empat puluh tahun berlalu Mirza Salik kembali ke Hyderabad dan diangkat oleh Salar Jang Alam sebagai kepala departemen pendidikan. Dibawah pelindung Nawwab Imad Al-Daulah Bilgrami mereka mulai menerbitkan Journal dengan judul Makhzan al-Fawaid. Walaupun bukan termasuk journal akademika yang tertua di Hyderabad, tetapi ianya termasuk journal yang pertama dan memainkan peranan sangat penting dalam pendidikan. Pada tahun 1854 Salik meninggal dunia dan dikebumikan di tanah kelahiranya.
“Khwaja Mu’in al-Din Ajmiri ibn Uthman Harwani ibn
Jami Sharif Zindani ibn Khwaja Qutb al-Din Maudood.
Saya berasal dari keturunan keluarga Maudoodiyyah”
Keturunan keluarga Maudoodiyyah yang saya sendiri berasal darinya hijrah ke India dalam kurun kesembilan (sekitar kurun 15-16) pemimpin pertama mereka ketika hijrah ke India bernama Abul ‘Ala Maudoodi (wafat 932/1528){senama dengan Maudoodi}. Beliau datang ke India dari Chishti ketika pemerintahan Iskandar Lodhi (894-923/1489-1517) dan bertempat di kota Biras dekat Kirnal. Ketika pemerintahan Mongol Shah Alam (1173-1221/1760-1806) Keluarga Maudoodiyyah pindah ke Delhi. Sejak itu lima generasi dari famili tersebut tinggal di Delhi, dan generasi yang ke enam sekarang tinggal dibumi terpencil.
Keluarga sebelah ibu saya berasal dari keturunan Turki. Kakek sebelah ibu saya Mirza Qurban Ali Baig Khan Salik seorang penyair dan penulis. Dan keturunan beliau berkecimpung dibidang ketentaraan. Diantara kakek-kakek saya, Mirza Tulak hijrah dari Transoxania ke India pada zaman pemerintahan Awrangzaib (1068-1118/1658-1707) dan diberi kedudukan dalam ketentaraan. Sampai waktu raja Shah Alam memerintah keluarganya masih bekerja di istana. Sejak sistem kerajaan ditiadakan semua yang berada di istana raja diberhentikan dari pekerjaan mereka. Orang tua Salik, Nawwab Alam Baig Khan dan paman Nawwab Niyaz Bahadur datang ke Hyderabad. Waktu itu hari-hari terakhir bagi pemerintahan Mir Nizam Ali Khan. Di Hydarabad Niyaz Bahadur Khan menikahkan anak perempuan Nawwab Mustaqill Jang Izzat Al-Dawlah Ashur Baig Khan yang mempunyai hubungan lansung dengan paman saya melalui keturunannya. Pemerintah Asifiyyah mengganugerahkan kepada beliau titel (gelar) yang sama dan gelar kehormatan yang sebelumnya dianugerahkan oleh Mughol kepada keturunan-keturunan mereka. Niyaz Bahadur Khan mengantikan Ashur Baig sebagai Jagirnya (gelar turun-temurun) dan sebagai ketua penduduk setempat.
Alam Baig Khan, sementara itu menikahkan keluarga Abdul Rahim Khan, qil’ahdar (komander tentara) di Gulkondah. Dari perkawinan ini (Ali Baig Khan) Salik lahir. Pada tahun 1822 Nawwab Niyaz Bahadur Khan menjadi korban (meninggal) di Chanchilgurah dalam suatu pertempuran. Pertempuran ini dicatat panjang lebar dalam sejarah Deccan. Ada sebuah anekdot yang menarik tentang meninggalnya (Nawwab Niyaz Bahadur Khan) seperti berikut: “Dari pedang Shamshir Khan berakhirnya riwayat hidup Niyaz Bahadur Khan, dan dari pedang Niyaz Bahadur Khan berakhirnya riwayat Shamshir Khan”. Setelah musibah ini Alam Baig Khan membawa anaknya yang paling kecil (Mirza Salik) ke Delhi. Kemudian setelah empat puluh tahun berlalu Mirza Salik kembali ke Hyderabad dan diangkat oleh Salar Jang Alam sebagai kepala departemen pendidikan. Dibawah pelindung Nawwab Imad Al-Daulah Bilgrami mereka mulai menerbitkan Journal dengan judul Makhzan al-Fawaid. Walaupun bukan termasuk journal akademika yang tertua di Hyderabad, tetapi ianya termasuk journal yang pertama dan memainkan peranan sangat penting dalam pendidikan. Pada tahun 1854 Salik meninggal dunia dan dikebumikan di tanah kelahiranya.
#####
Arwah ayah saya, Maulawi Sayyed Ahmad Hasan dilahirkan dua tahun sebelum terjadi pemberontakan di Delhi pada tahun 1857. Beliau termasuk generasi pertama yang belajar di Madrasatul Ulum Aligarh. Sekolah ini dibangun oleh Arwah Sir Sayyid Ahmad Khan (wafat 1898), dan menyeleksi anak-anak dari kalangan keluarganya sendiri dan orang-orang yang berasal dari daerahnya untuk disekolahkan di Aligarh. Secara kebetulan kakek sebelah ibu saya satu daerah dengan Sir Sayyed Ahmad Khan, maka ayah saya termasuk orang yang terpilih untuk belajar di Aligarh. Di Aligarh ayah saya satu kelas dengan Sir Muhammad Rafiq dan Sir Buland Jang. Sejak waktu itu, sudah menjadi rahasia umum, orang-orang muslim tidak menyenangi pendidikan dan kebudayaan yang dibawa oleh British. Pengaruh tersebut sangat jelas terhadap keluarga saya. Keluarga saya tidak cuma orang-orang yang mengerti tentang agama, akan tetapi juga termasuk dalam kalangan ulama’ dalam masyarakat. Kakek saya tidak begitu senang dengan pendidikan yang diterapkan di Aligarh tempat ayah saya belajar, akan tetapi karena beliau menghormati Sir Sayyid Ahmad Khan maka kakek saya menyetujui hal tersebut.
Suatu hari ada seorang dari daerah saya datang ke Aligarh dan disana beliau melihat ayah saya sedang main kriket. Orang tersebut terkejut, melihat anak seorang sufi (pir) memakai pakaian British dan bermain dengan permainan orang British. Setelah kembalinya dari Delhi, orang tersebut memberi tahu kepada kakek saya tentang apa yang beliau lihat di Aligarh.
Wahai Saudaraku!
Cuci tangan kamu dari Ahmad Hasan (ayah Maulana Maudoodi, pent).
Saya melihat dia di Aligarh memakai pakaian orang kafir dan main kriket.
Mendengar berita tersebut, kakek saya hilang kesabaranya dan lansung memanggil ayah saya dari Aligarh. Akibatnya ayah saya tidak sempat menyelesaikan studinya di Aligarh. Berikutnya beliau sekolah di Allahabad dan menyelesaikan sekolahnya dalam jurusan perundang-undangan.
Sejak itu, ayah saya pergi ke Deogarh dan diangkat menjadi tutor putra mahkota. Kisah tetang pelantikan itu sangat menarik sekali. Raja Deogarh memanggil dua orang yang ingin dijadikan tutor dari Delhi dan akan memilih salah satu yang terbaik diantaranya sebagai pendidik anak raja. Satu dari keduanya adalah ayah saya dan satu lagi adalah mantan dosen ayah saya. Setelah sampai di Istana Deograh ayah saya baru mengetahui bahwa mantan dosen beliau juga diundang oleh Raja. Beliau lansung mengirim berita kepada Raja, bahwa dia tidak sanggup bertanding dengan mantan dosennya dan mohon izin untuk kembali ke Delhi. Disatu sisi, mantan dosennya merespon dan berkata “Dia adalah mantan murid saya dan juga masih kecil, bagaimana dia bisa mengajar seperti saya”. Melihat dari kedua karakter tersebut, Raja berkata “Kita tidak butuh profesor. Akan tetapi kita lebih suka muridnya”. Lalu ayah saya tinggal beberapa tahun di Deograh sampai putra mahkota meninggal dalam satu komplotan. Ayah saya sangat terkejut dengan hal tersebut lalu berhenti dari pekerjaanya dan meninggalkan Deograh.
Dalam beberapa tahun beliau bekerja sebagai pengacara di Meerut, Ghaziabad dan Bulandshahr. Pada tahun 1896 beliau pergi ke Awrangabad untuk membela sebuah permasalahan (case). Maulawi Muhyiddin Khan adalah ketua hakim di Awrangabad dan mempunyai hubungan dengan ayah saya dari pihak sebelah ayah pamannya. Atas nasehat beliau ayah saya meneruskan karirnya di sana dan beliau sukses dalam beberapa bulan saja. Sejak hari-hari tersebut ayah saya sangat terpengaruh dengan ide-ide dan gaya hidup orang British. Kepingan keagamaanya mulai ditutupi oleh abu-abu kemoderenan. Dengan perlahan-lahan Maulawi Muhyiddin memberi nasehat dan mengikis semua bekas kebudayaan barat dari kehidupan beliau, dan Islam menjadi dominan dalam kehidupanya. Pada tahun 1318/1900 ayah saya berbai’ah (berjanji) dengan Maulawi Muhyiddin secara spiritual dan ajaran-ajaran sufi. Sejak itu kehidupannya selalu beribadah, menunaikan perintah-perintah agama dan karirnya semakin menurun.
Dalam beberapa tahun beliau mempraktekkan kehidupan para sufi dan hidup dalam kezuhudan. Pada tahun 1904, ketika saya baru berumur satu tahun, ayah saya menghadapi kesulitan dan ujian. Beliau tidak hanya berhenti dari pengacara, akan tetapi juga menyuci tangannya dari keduniaan. Beliau menjual semua peralatan rumah dan kami pindah ke Delhi. Disana kami tinggal di Arab Sara’i, sebuah kampung dekat makam Nizam-al-Din Uliya. Disana beliau tumpukan segala kehidupanya dengan masalah-masalah agama. Kami hidup dalam keadaan seperti ini sekitar tiga tahun. Selepas itu Maulawi Muhyiddin memanggil ayah saya ke Awrangabad dan menasehati beliau, “Untuk kembali kepada Allah adalah tidak patut meninggalkan dunia, hanya untuk menghasilkan sepotong roti dengan cara tawakkal”.
Setelah mendengar nasehat ini ayah saya mulai lagi berkerja sebagai pengacara, dan bertekat untuk tidak membela sebuah permasalahan dengan berbohong. Beliau terlebih dahulu mengkaji semua case (permasalahan) dan bersedia untuk membela di mahkamah setelah memahami bahwa yang dibela benar-benar berada dipihak yang benar.5 Beliau puas dengan perkerjaanya, tetapi bingung dan bingung dengan permasalahan keuangan keluarga yang semakin susah. Cara berfikir, gaya hidup dan ide-ide ayah saya banyak berubah, mungkin sepintas orang akan menyangka bahwa ayah saya terpengaruh dengan cara orang-orang British.
Beliau masih menjadi pengacara di Awrangabad sampai tahun 1915, kemudian pindah ke Hyderabad. Berselang beberapa bulan disana beliau jatuh sakit dan pindah ke Bhopal tempat abang saya yang berkerja sebagai pegawai eksekutif. Di Bhopal ayah saya mengalami penyakit stroke yang menyebabkan beliau menjadi lumpuh. Beliau terbaring ditempat tidur selama empat tahun dan meninggal dunia pada tahun 1920.
Saya lahir pada 3 Rajab 1321 H /December 1903 di Awrangabad. Tiga sampai empat tahun sebelum saya lahir seorang yang alim memberi tahu kepada ayah saya tentang kelahiran saya dan memberi pesan agar ketika saya lahir nanti diberi nama Abu al-‘Ala, karena nama ini amat masyhur dalam keluarga kami dikalangan muslim India. Ketika saya lahir ayah saya memberi nama kepada saya Abu al-‘Ala mengingati pesan yang telah diterimanaya sebelum saya lahir. Setelah satu tahun dari kelahiran saya, ayah saya meninggalkan kehidupan dunia dan memilih untuk menyendiri dari kesibukan dunia selama lebih kurang tiga tahun. Walaupun setelah itu kembali kedunia nyata yang sangat berbeda dengan kehidupan beliau sebelum menyendiri, beliau menjadi sangat taat dalam beragama. Hasil dari perubahan total dalam kehidupan beliau, di waktu yang sama saya mulai membuka mata dan tumbuh dalam lingkungan doktrin keagamaan yang kuat. Kehidupan ayah dan ibu saya sangat jelas sekali dengan berpandukan kehidupan agama yang benar. Contoh dan tarbiyah yang diberikan menjadikan kami teguh beragama dan bergairah untuk mempelajarinya.
Pada awalnya ayah saya mempunyai cita-cita untuk menjadikan saya sebagai seorang Maulawi (‘Ulama) dan mulai mendidik saya dengan objektif tersebut. Disamping belajar bahasa Urdu dan Parsia, saya juga belajar Bahasa Arab, Fiqh dan Hadist. Beliau tidak mengizinkan saya untuk belajar Bahasa Inggris dan pemikiran-pemikiran dari Barat. Dalam mendidik beliau sangat menekankan kepada etika dan peningkatan akhlak kami. Dalam masa waktu tertentu, saya cuma belajar dirumah dan tidak mengikuti sekolah formal. Dan dalam waktu kosong biasanya saya gunakan untuk belajar secara autodidak.
Dimalam hari sebelum tidur saya mendengar kisah-kisah pahlawan Islam dan beberapa kisah lain dari sejarah umat Islam terdahulu. Kisah-kisah yang menarik ini membuat saya semakin bergairah untuk mempelajari agama ini lebih mendalam lagi. Sampai aktifitas disetiap hari saya tumpukan kepada belajar dan meningkatkan diri, terutama latihan berbicara didepan teman-teman dengan mengunakan bahasa yang baik. Selama saya tinggal di Deccan lebih kurang duapuluh tahun saya tidak mengunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari, tetapi selalu mengunakan bahasa Urdu yang benar (pure Urdu). Mengunakan bahasa yang baik dalam percakapan adalah suatu hal yang sangat ditekankan dalam keluarga kami. Terus kadang-kadang kami tidak dibenarkan untuk bermain dengan anak-anak setempat. Tapi masih juga, jika ayah saya mendengar ada dikalangan kami salah dalam mengungkapkan kata-kata atau ejaan yang salah sertamerta beliau membenarkan kesalahan tersebut.
Saya belajar dirumah sampai umur sembilan tahun, dalam masa tersebut saya belajar Nahu dan Sorf (tata bahasa Arab), literatur dan pengenalan buku-buku fiqh. Tutor saya Almarhum Maulawi Nadimullah Husyni mendaftarkan saya di Madrasah Fawqaniyyah Rushdiyyah di Awrangabad. Selang beberapa bulan setelah saya belajar, ujian dilaksanakan. Saya ikut dalam ujian tetapi saya tidak lulus. Saya kurang berminat dengan mata pelajaran Matematika yang saya pelajari dalam tempo enam bulan. Tetapi saya tidak lemah dalam mata pelajaran yang lainnya. Namun demikian, kepala sekolah Mulla Dawud sangat bermurah hati dengan saya, meskipun saya gagal dalam ujian beliau masih menerima saya sebagai murid dibagian Maulawi. Disana saya diperkenalkan pertama kali dengan ilmu-ilmu moderen. Walaupun bahasa pengantar dalam bahasa Urdu, namun saya merasa senang dengan pelajaran fisika, biology, matematika, sejarah dan ilmu-ilmu lainnya. Selama masa belajar tersebut, tiap-tiap guru memiliki pengaruh tersendiri bagi diri saya dan begitu juga dengan teman-teman disekolah. Selama saya tinggal dalam lingkungan ini, banyak sekali hal-hal yang baik dan tidak baik dapat saya ambil pelajaran, hal ini membuat saya berhati-hati ketika saya terjun dimasyarakat. Dalam mendidik kami, ayah saya mengajarkan bagaimana membedakan antara yang baik dan tidak baik. Tarbiyah pertama yang saya perolehi dari orang tua sangat melekat dalam benak saya, hal ini yang membuat saya semakin kuat dalam menghadapi berbagai pengaruh dari luar. Manfa’at yang dapat saya ambil dari pentarbiahan tersebut adalah ketika umur saya menginjak 15 tahun, saya ditakdirkan untuk tinggal jauh dari keluarga dan hidup tanpa ada pengawasan, umur semuda ini biasanya cenderung untuk melakukan hal-hal yang tidak baik.
Pada tahun 1914 saya hampir-hampir tidak lulus dalam ujian Maulawi disebabkan saya lemah dalam mata pelajaran matematika. Dihari-hari tersebut ayah saya juga menghadapi berbagai masalah dengan kesehatannya. Kami meninggalkan Awrangabad menuju Hyderabad. Di Hyderabad saya masuk sekolah Darul Ulum dalam bidang yang sama (Maulawi section). Maulana Hamid al-Din Farahi (wafat 1930) sebagai kepala sekolah ketika itu.6 Setelah itu ayah saya pindah lagi ke Bhopal dan saya tetap meneruskan pendidikan saya di Hyderabad. Tapi setelah 6 bulan berlalu saya mendapat berita dari Bhopal yang mengabarkan bahwa ayah saya dalam keadaan sakit parah. Mendengar berita tersebut saya jadi bingung dan memutuskan untuk pergi ke Bhopal dengan ibu saya untuk menjengok ayah saya. Tapi Allah menghendaki lain, ayah saya meninggal dunia. Saya mulai merasa kepahitan-kepahitan dalam ralita kehidupan. Selama dua tahun setengah lamanya saya harus menjalankan kehidupan ini diatas kaki sendiri, dan pengalaman ini telah mengajar saya arti kehidupan yang sebenarnya.
Saya senang menulis sejak dibangku sekolah lagi. Suatu hari, kenalan saya Niyaz Fatihpuri menganjurkan kepada saya untuk mengajar tulis menulis. Tapi saya kurang berminat untuk itu dan saya memilih pena (baca: tulisan) sebagai mata pencarian.
Pada tahun 1918 abang saya Abu al-Khayr seorang wartawan dan berkerja sebagai editor majalah Madinah di Bijnur. Saya pergi menghadap beliau dan berkerja dengannya. Tapi setelah lebih kurang dalam dua bulan kami tidak dapat meneruskan usaha kami dan kembali ke Delhi. Dihari-hari tersebut perpolitikan India dalam keadaan kacau. Bagi saya, pemikiran yang bebas, bacaan dan analisa saya serta pengalaman-pengalaman dari kejadian-kejadian dalam keluarga dan sekeliling membuat saya menolak Westernisasi dan campur tangan barat. Dari itu, saya siap menerima pergerakan kemerdekaan (independence movement), khususnya yang mempunyai misi agama. Kami mulai membangun “Anjuman-i I’anat-i Nazarbandan-i Islam” (organisasi untuk membantu tahanan orang muslim). Ketika pergerakan Khilafah berdiri pada tahun 1919, saya juga ikut menjadi anggotanya.7 Dalam hari-hari tersebut saya juga menulis buku tentang riwayat hidup Mahatma gandhi (beliau juga mendukung Pergerakan Khilafah), tapi salah seorang dari kampung saya mengadu hal tersebut kepihak kepolisian dan buku saya disita. Setelah itu kami bertemu dengan seorang pemberani yang berasal dari Central Provinces. Beliau sebagai pelindung“Anjuman-i I’anat-i Nazarbandan-i Islam” namanya Taj al-Din, beliau juga aktif menulis dan editor majalah mingguan Taj dari Jabalpur. Masa itu adalah masa yang sangat sulit bagi pembisnis berita. Kami hanya mampu berkerja dengan Taj dalam beberapa bulan saja setelah itu meninggalkan Jabalpur, pertama ke Bhopal dan selanjutnya ke Delhi.
Jurnalis memaksa saya untuk belajar bahasa Inggris. Saya bernasib baik bisa bertemu dengan tutor Maulana Muhammad Fazil. Saya belajar buku-buka dasar bahasa Inggris dengan beliau dalam empat sampai lima bulan. Setelah itu saya tidak lagi memakai tutor dan belajar sendiri dengan cara membaca koran, artikel dan buku-buku, hal ini saya praktekan selama lebih kurang dalam dua tahun. Pada awalnya saya kurang faham, tetapi saya terus berusaha dengan gigih untuk memahami semua jenis teks dengan bantuan kamus, sehingga arti (ma’na) dari semua perkataan dan cara mengunakannya dapat saya fahami dengan baik. Dengan bahasa Inggris saya bisa mempelajari sejarah, philosofi, ilmu politik, ekonomi, agama, ilmu sosial dan ilmu-ilmu sains lainya dengan mudah.
Sejak itu, propesi saya dan abang saya sama sebagai jurnalis, tetapi pada tahun 1920 kami berbeda jalan. Abang saya meninggalkan jurnalis dan saya menekuninya. Saya kembali ke Jabalpur dan berkerja dengan Taj al-Din editor majalah Taj. Pada awalnya majalah Taj terbit tiap minggu setelah itu berubah menjadi setiap hari. Saya kerja sendirian dan juga membantu Taj al-Din dalam aktivitas politik. Ketika itu Pergerakan Khalifah di Jabalpur baru mulai dan saya salah seorang dari orang muslim yang bergabung dengan Congress (partai) dalam masalah ini. Ketika itu sedikit sekali ahli pidato dikalangan orang muslim, kemudian saya mulai mengisi ceramah walaupun sebenarnya saya tidak layak untuk tugas tersebut.
Setidak-tidaknya, apa yang terjadi di Jabalpur banyak memberi manfa’at kepada saya. Pertama, saya menjadi yakin yang sebelumnya tidak saya miliki. Pada awalnya saya merasa bingung terhadap tanggungjawab yang diberikan kepada saya dan merasa ragu-ragu sebelum menerima tugas. Tapi di Jabalpur tidak ada tempat untuk saya bergantung kecuali terhadap diri sendiri dalam menjalankan semua tugas yang berhubungan dengan orang banyak. Dan saya merasa disana ada kekuatan tersembunyi yang membantu saya disaat saya membutuhkan. Sejak itu, saya tidak pernah menolak dari menerima tanggungjawab. Kedua, saya menjadi orang yang bebas dalam kehidupan saya. Hal ini sangat jelas ketika saya tinggal di Jabalpur yang sebelumnya saya selalu tinggal dengan orang sekampung dengan saya.
Profesi saya sebagai jurnalis di Jabalpur tidak berjalan lama. Malangnya lagi, sebuah artikel tentang kritikan saya terhadap pemerintahan membawa dampak negatif kepada editor dan percetakan majalah Taj al-Din. Hal ini menjadi beban yang berat kepada saya dan saya berjanji kepada diri saya sendiri untuk tidak menekankan tanggungjawab kepada pekerjaan akan tetapi tetap bertanggungjawab kepada hasil tulisan saya.
Pada akhir tahun 1920 saya kembali ke Delhi. Kira-kira pada awal tahun 1921 saya bertemu dengan Maulana Mufti Kifayatullah dan Ahmad Said, Amir dan Sekretaris Jendral Jamiat-i Ulama’ Hindi. Kemudian majalah resmi Jamiat The Muslim diterbitkan dan saya diangkat sebagai editor. Majalah tersebut cuma bisa bertahan sampai tahun 1923.
Antara tahun 1916-1921 adalah tahun yang amat susah yang saya rasakan dalam kehidupan saya dan berpindah-pindah dari satu tempat ketempat yang lain. Oleh itu, saya tidak bisa menjalankan pendidikan saya dengan sempurna. Disamping kesibukan sebagai jurnalis ketika saya tinggal di Delhi tahun 1921, diwaktu luang saya sempatkan diri untuk belajar literatur Arab, tafsir, hadits, fiqh dan mantiq (logic) dari berbagai tutor. Dan bercita-cita untuk mengetahui semua bidang ilmu pengetahuan.
Pada tahun 1923 sekali lagi majalah The Muslim dilarang untuk beredar dipasaran dan saya memutuskan untuk meninggalkan Delhi menuju Hyderabad. Dalam perjalanan saya dideportasi ke Bhopal. Saya belajar lebih kurang setahun setengah di Bhopal dan tidak bekerja apa-apa dan menghasilkan satu atau dua artikel saja. Pada tahun 1924 saya kembali ke Delhi. Disana saya berjumpa dengan Maulana Muhammad Ali. Beliau meminta saya untuk membantu menerbitkan korannya yang bernama Hamdard. Tetapi Maulana Ahmad Said (editor majalah Al-Jami’at) juga meminta saya untuk berkerja dengan beliau. Tapi saya memilih untuk berkerja dengan Al-Jami’at karena sebelumnya saya sudah kenal baik dengan editor majalah tersebut. Dengan pilihan ini saya bisa lebih independen. Dari tahun 1925 ketika Al-Jami’at mulai, dan sampai berhenti penerbitan pada tahun 1928 saya yang bertanggungjawab keatas majalah tersebut.
Dihari-hari tersebut disamping sebagai seorang jurnalis, saya juga belajar subjek-subjek yang lain, seperti Bahasa Arab dan membaca buku-buku lain. Dalam masa ini, saya juga menulis dua buku yang berjudul: Al-Jihad fi al-Islam (Jihad dalam Islam) dan Daulat-i Asifiyyah wa Hukumat-i Britaniyyah (Pemerintahan Asifiyyah dan kekuasan British). Di Delhi saya juga belajar Bahasa Jerman, tetapi tidak sampai selesai karena setelah sebulan setengah belajar tutor saya meninggalkan Delhi. Selama sepuluh tahun tinggal di India secara mental saya mengalami siksaan, khususnya ketika menjadi seorang jurnalis koran Urdu. Maka pada tahun 1928 saya mengundurkan diri dari Al-Jami’at dan memutuskan untuk menumpukan semua waktu kedalam tulis menulis dan mengedit pekerjaan yang saya minati. Pada Desember 1928 saya pergi ke Hyderabad dan tinggal disana sampai Agustus 1930. Diantara tahun tersebut, saya menulis sejarah kerajaan Seljuk dan menterjemah beberapa bab dari buku Ibn Khalkan tentang kerajaan Fatimiyah.
Pada tahun 1930 saya jatuh sakit dan kembali ke Delhi. Saya tinggal disana beberapa bulan sampai kesehatan saya agak membaik. Dari Delhi saya pergi ke Bhopal dan tinggal disana dalam beberapa bulan untuk mengumpulkan bahan-bahan tentang sejarah Deccan. Pada Juli 1931 saya kembali ke Hyderabab dan meneruskan riset tentang sejarah Deccan. Dalam selah-selah waktu tersebut saya juga menyiapkan riwayat hidup Nizam al-Mulk Asifjah dan setelah dicetak kedua buku ini laris dipasaran. Saya juga menterjemahkan buku Al-Asfar al-Arba’ah buah karya Allama Sadr al-Din Shirazi untuk Universitas Usmania, buku ini termasuk salah satu buku dalam bahasa Arab yang paling sulit untuk difahami.8
Menulis artikel dan karang-mengarang menjadi hobby saya sejak umur sembilan tahun lagi. Suatu hari teman dekat saya Ishfaq Ahmad Zahidi, orangnya cerdas dan mempunyai semangat besar dalam tulis menulis datang ke Awrangabad dan tinggal dengan kami untuk beberapa waktu. Abang saya dan saya sangat suka dalam tulis menulis dan senang dengan isu kemasyarakatan dan politik, kami sering membaca koran dan berita lainnya. Suatu hari beliau (Ishfaq Ahmad Zahidi, pent) ingin mencoba kapabilitas kami dengan memberi satu judul untuk dituliskan. Judul tersebut “I had fallen in love with a girl and I was to write her a letter describing my attraction to her and my pains”. Sebenarnya kami tidak siap untuk menulis tema seperti ini. Dan lagi, hidup saya selama ini tidak mendukung hal tersebut, secara mental saya tidak mempunyai kapasitas untuk mencintai dan dicintai. Walupun begitu saya juga pernah membaca syair-syair tentang cinta dalam buku Gulistan dan Bustan.9 Saya percaya bahwa perasaan cinta ketika memandang wajah yang cantik adalah penyakit yang membuat hati semakin bergelora......saya mengelaborasi tulisan saya dengan buah fikiran ini. Tidak seorangpun termasuk juga Ishfaq yang ingat apa yang kami tulis, akan tetapi beliau (Ishfaq) suka denga tulisan saya karena lebih baik dari tulisan abang saya.
Setelah itu, walaupun saya sangat antusias dan punya peluang dalam tulis menulis, tapi hal tersebut sempat berhenti seketika karena ayah saya sangat cemas dengan pembelajaran kami, lalu kebanyakan waktu kami ditumpukan untuk membaca. Jadi, saya banyak membaca buku dalam bahasa Urdu dari berbagai disiplin ilmu serta berbagai jenis literatur.
Pada tahun 1914 saya lulus ujian Maulawi dan abang saya menganjurkan kepada saya untuk menterjemah buku hasil karya Qasim Amin yang berjudul Al-Mar-ah Al-Jadidah (Perempuan Modern, cetakan pertama pada tahun 1899) kedalam bahasa Urdu.10 Allah maha tahu dimana letaknya lembaran-lembaran terjemahan itu berada, tapi yang masih saya ingat adalah ketika saya sodorkan hasil terjemahan itu kepada ayah saya, beliau merasa gembira. Ini adalah karya saya yang pertama. Terus, pada tahun 1917 ketika saya di Bhopal saya mencoba untuk meningkatkan skill dalam tulis menulis disamping saya menambah bacaan dari buku-buku lain. Keinginan untuk menjadi seorang penulis adalah termasuk cita-cita saya sejak kecil lagi. Pada mulanya bentuk tulisan saya banyak dipengaruhi oleh tulisan-tulisan orang lain, tetapi pada tahun 1921 saya sudah memiliki bentuk dan gaya penulisan tersendiri dan tidak meniru dari orang lain.
Saya percaya, setiap pemikiran dan pendapat mempunyai pembendaharaan kata tersendiri dan setiap hasil pemikiran biasanya dituangkan dalam bentuk tulisan dengan jelas dan dengan kalimat-kalimat yang pas. Jadi, saya sangat berhati-hati dalam memilih kata-kata ketika menulis. Hasilnya, saya bisa berhemat dalam tulisan (tidak muluk-muluk, Pent) dan setiap waktu saya berusaha untuk mengumpul informasi dan mengolahnya dengan baik sehingga menjadi sebuah fikiran yang bermanfaat.
Suatu hari ada seorang dari daerah saya datang ke Aligarh dan disana beliau melihat ayah saya sedang main kriket. Orang tersebut terkejut, melihat anak seorang sufi (pir) memakai pakaian British dan bermain dengan permainan orang British. Setelah kembalinya dari Delhi, orang tersebut memberi tahu kepada kakek saya tentang apa yang beliau lihat di Aligarh.
Wahai Saudaraku!
Cuci tangan kamu dari Ahmad Hasan (ayah Maulana Maudoodi, pent).
Saya melihat dia di Aligarh memakai pakaian orang kafir dan main kriket.
Mendengar berita tersebut, kakek saya hilang kesabaranya dan lansung memanggil ayah saya dari Aligarh. Akibatnya ayah saya tidak sempat menyelesaikan studinya di Aligarh. Berikutnya beliau sekolah di Allahabad dan menyelesaikan sekolahnya dalam jurusan perundang-undangan.
Sejak itu, ayah saya pergi ke Deogarh dan diangkat menjadi tutor putra mahkota. Kisah tetang pelantikan itu sangat menarik sekali. Raja Deogarh memanggil dua orang yang ingin dijadikan tutor dari Delhi dan akan memilih salah satu yang terbaik diantaranya sebagai pendidik anak raja. Satu dari keduanya adalah ayah saya dan satu lagi adalah mantan dosen ayah saya. Setelah sampai di Istana Deograh ayah saya baru mengetahui bahwa mantan dosen beliau juga diundang oleh Raja. Beliau lansung mengirim berita kepada Raja, bahwa dia tidak sanggup bertanding dengan mantan dosennya dan mohon izin untuk kembali ke Delhi. Disatu sisi, mantan dosennya merespon dan berkata “Dia adalah mantan murid saya dan juga masih kecil, bagaimana dia bisa mengajar seperti saya”. Melihat dari kedua karakter tersebut, Raja berkata “Kita tidak butuh profesor. Akan tetapi kita lebih suka muridnya”. Lalu ayah saya tinggal beberapa tahun di Deograh sampai putra mahkota meninggal dalam satu komplotan. Ayah saya sangat terkejut dengan hal tersebut lalu berhenti dari pekerjaanya dan meninggalkan Deograh.
Dalam beberapa tahun beliau bekerja sebagai pengacara di Meerut, Ghaziabad dan Bulandshahr. Pada tahun 1896 beliau pergi ke Awrangabad untuk membela sebuah permasalahan (case). Maulawi Muhyiddin Khan adalah ketua hakim di Awrangabad dan mempunyai hubungan dengan ayah saya dari pihak sebelah ayah pamannya. Atas nasehat beliau ayah saya meneruskan karirnya di sana dan beliau sukses dalam beberapa bulan saja. Sejak hari-hari tersebut ayah saya sangat terpengaruh dengan ide-ide dan gaya hidup orang British. Kepingan keagamaanya mulai ditutupi oleh abu-abu kemoderenan. Dengan perlahan-lahan Maulawi Muhyiddin memberi nasehat dan mengikis semua bekas kebudayaan barat dari kehidupan beliau, dan Islam menjadi dominan dalam kehidupanya. Pada tahun 1318/1900 ayah saya berbai’ah (berjanji) dengan Maulawi Muhyiddin secara spiritual dan ajaran-ajaran sufi. Sejak itu kehidupannya selalu beribadah, menunaikan perintah-perintah agama dan karirnya semakin menurun.
Dalam beberapa tahun beliau mempraktekkan kehidupan para sufi dan hidup dalam kezuhudan. Pada tahun 1904, ketika saya baru berumur satu tahun, ayah saya menghadapi kesulitan dan ujian. Beliau tidak hanya berhenti dari pengacara, akan tetapi juga menyuci tangannya dari keduniaan. Beliau menjual semua peralatan rumah dan kami pindah ke Delhi. Disana kami tinggal di Arab Sara’i, sebuah kampung dekat makam Nizam-al-Din Uliya. Disana beliau tumpukan segala kehidupanya dengan masalah-masalah agama. Kami hidup dalam keadaan seperti ini sekitar tiga tahun. Selepas itu Maulawi Muhyiddin memanggil ayah saya ke Awrangabad dan menasehati beliau, “Untuk kembali kepada Allah adalah tidak patut meninggalkan dunia, hanya untuk menghasilkan sepotong roti dengan cara tawakkal”.
Setelah mendengar nasehat ini ayah saya mulai lagi berkerja sebagai pengacara, dan bertekat untuk tidak membela sebuah permasalahan dengan berbohong. Beliau terlebih dahulu mengkaji semua case (permasalahan) dan bersedia untuk membela di mahkamah setelah memahami bahwa yang dibela benar-benar berada dipihak yang benar.5 Beliau puas dengan perkerjaanya, tetapi bingung dan bingung dengan permasalahan keuangan keluarga yang semakin susah. Cara berfikir, gaya hidup dan ide-ide ayah saya banyak berubah, mungkin sepintas orang akan menyangka bahwa ayah saya terpengaruh dengan cara orang-orang British.
Beliau masih menjadi pengacara di Awrangabad sampai tahun 1915, kemudian pindah ke Hyderabad. Berselang beberapa bulan disana beliau jatuh sakit dan pindah ke Bhopal tempat abang saya yang berkerja sebagai pegawai eksekutif. Di Bhopal ayah saya mengalami penyakit stroke yang menyebabkan beliau menjadi lumpuh. Beliau terbaring ditempat tidur selama empat tahun dan meninggal dunia pada tahun 1920.
Saya lahir pada 3 Rajab 1321 H /December 1903 di Awrangabad. Tiga sampai empat tahun sebelum saya lahir seorang yang alim memberi tahu kepada ayah saya tentang kelahiran saya dan memberi pesan agar ketika saya lahir nanti diberi nama Abu al-‘Ala, karena nama ini amat masyhur dalam keluarga kami dikalangan muslim India. Ketika saya lahir ayah saya memberi nama kepada saya Abu al-‘Ala mengingati pesan yang telah diterimanaya sebelum saya lahir. Setelah satu tahun dari kelahiran saya, ayah saya meninggalkan kehidupan dunia dan memilih untuk menyendiri dari kesibukan dunia selama lebih kurang tiga tahun. Walaupun setelah itu kembali kedunia nyata yang sangat berbeda dengan kehidupan beliau sebelum menyendiri, beliau menjadi sangat taat dalam beragama. Hasil dari perubahan total dalam kehidupan beliau, di waktu yang sama saya mulai membuka mata dan tumbuh dalam lingkungan doktrin keagamaan yang kuat. Kehidupan ayah dan ibu saya sangat jelas sekali dengan berpandukan kehidupan agama yang benar. Contoh dan tarbiyah yang diberikan menjadikan kami teguh beragama dan bergairah untuk mempelajarinya.
Pada awalnya ayah saya mempunyai cita-cita untuk menjadikan saya sebagai seorang Maulawi (‘Ulama) dan mulai mendidik saya dengan objektif tersebut. Disamping belajar bahasa Urdu dan Parsia, saya juga belajar Bahasa Arab, Fiqh dan Hadist. Beliau tidak mengizinkan saya untuk belajar Bahasa Inggris dan pemikiran-pemikiran dari Barat. Dalam mendidik beliau sangat menekankan kepada etika dan peningkatan akhlak kami. Dalam masa waktu tertentu, saya cuma belajar dirumah dan tidak mengikuti sekolah formal. Dan dalam waktu kosong biasanya saya gunakan untuk belajar secara autodidak.
Dimalam hari sebelum tidur saya mendengar kisah-kisah pahlawan Islam dan beberapa kisah lain dari sejarah umat Islam terdahulu. Kisah-kisah yang menarik ini membuat saya semakin bergairah untuk mempelajari agama ini lebih mendalam lagi. Sampai aktifitas disetiap hari saya tumpukan kepada belajar dan meningkatkan diri, terutama latihan berbicara didepan teman-teman dengan mengunakan bahasa yang baik. Selama saya tinggal di Deccan lebih kurang duapuluh tahun saya tidak mengunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari, tetapi selalu mengunakan bahasa Urdu yang benar (pure Urdu). Mengunakan bahasa yang baik dalam percakapan adalah suatu hal yang sangat ditekankan dalam keluarga kami. Terus kadang-kadang kami tidak dibenarkan untuk bermain dengan anak-anak setempat. Tapi masih juga, jika ayah saya mendengar ada dikalangan kami salah dalam mengungkapkan kata-kata atau ejaan yang salah sertamerta beliau membenarkan kesalahan tersebut.
Saya belajar dirumah sampai umur sembilan tahun, dalam masa tersebut saya belajar Nahu dan Sorf (tata bahasa Arab), literatur dan pengenalan buku-buku fiqh. Tutor saya Almarhum Maulawi Nadimullah Husyni mendaftarkan saya di Madrasah Fawqaniyyah Rushdiyyah di Awrangabad. Selang beberapa bulan setelah saya belajar, ujian dilaksanakan. Saya ikut dalam ujian tetapi saya tidak lulus. Saya kurang berminat dengan mata pelajaran Matematika yang saya pelajari dalam tempo enam bulan. Tetapi saya tidak lemah dalam mata pelajaran yang lainnya. Namun demikian, kepala sekolah Mulla Dawud sangat bermurah hati dengan saya, meskipun saya gagal dalam ujian beliau masih menerima saya sebagai murid dibagian Maulawi. Disana saya diperkenalkan pertama kali dengan ilmu-ilmu moderen. Walaupun bahasa pengantar dalam bahasa Urdu, namun saya merasa senang dengan pelajaran fisika, biology, matematika, sejarah dan ilmu-ilmu lainnya. Selama masa belajar tersebut, tiap-tiap guru memiliki pengaruh tersendiri bagi diri saya dan begitu juga dengan teman-teman disekolah. Selama saya tinggal dalam lingkungan ini, banyak sekali hal-hal yang baik dan tidak baik dapat saya ambil pelajaran, hal ini membuat saya berhati-hati ketika saya terjun dimasyarakat. Dalam mendidik kami, ayah saya mengajarkan bagaimana membedakan antara yang baik dan tidak baik. Tarbiyah pertama yang saya perolehi dari orang tua sangat melekat dalam benak saya, hal ini yang membuat saya semakin kuat dalam menghadapi berbagai pengaruh dari luar. Manfa’at yang dapat saya ambil dari pentarbiahan tersebut adalah ketika umur saya menginjak 15 tahun, saya ditakdirkan untuk tinggal jauh dari keluarga dan hidup tanpa ada pengawasan, umur semuda ini biasanya cenderung untuk melakukan hal-hal yang tidak baik.
Pada tahun 1914 saya hampir-hampir tidak lulus dalam ujian Maulawi disebabkan saya lemah dalam mata pelajaran matematika. Dihari-hari tersebut ayah saya juga menghadapi berbagai masalah dengan kesehatannya. Kami meninggalkan Awrangabad menuju Hyderabad. Di Hyderabad saya masuk sekolah Darul Ulum dalam bidang yang sama (Maulawi section). Maulana Hamid al-Din Farahi (wafat 1930) sebagai kepala sekolah ketika itu.6 Setelah itu ayah saya pindah lagi ke Bhopal dan saya tetap meneruskan pendidikan saya di Hyderabad. Tapi setelah 6 bulan berlalu saya mendapat berita dari Bhopal yang mengabarkan bahwa ayah saya dalam keadaan sakit parah. Mendengar berita tersebut saya jadi bingung dan memutuskan untuk pergi ke Bhopal dengan ibu saya untuk menjengok ayah saya. Tapi Allah menghendaki lain, ayah saya meninggal dunia. Saya mulai merasa kepahitan-kepahitan dalam ralita kehidupan. Selama dua tahun setengah lamanya saya harus menjalankan kehidupan ini diatas kaki sendiri, dan pengalaman ini telah mengajar saya arti kehidupan yang sebenarnya.
Saya senang menulis sejak dibangku sekolah lagi. Suatu hari, kenalan saya Niyaz Fatihpuri menganjurkan kepada saya untuk mengajar tulis menulis. Tapi saya kurang berminat untuk itu dan saya memilih pena (baca: tulisan) sebagai mata pencarian.
Pada tahun 1918 abang saya Abu al-Khayr seorang wartawan dan berkerja sebagai editor majalah Madinah di Bijnur. Saya pergi menghadap beliau dan berkerja dengannya. Tapi setelah lebih kurang dalam dua bulan kami tidak dapat meneruskan usaha kami dan kembali ke Delhi. Dihari-hari tersebut perpolitikan India dalam keadaan kacau. Bagi saya, pemikiran yang bebas, bacaan dan analisa saya serta pengalaman-pengalaman dari kejadian-kejadian dalam keluarga dan sekeliling membuat saya menolak Westernisasi dan campur tangan barat. Dari itu, saya siap menerima pergerakan kemerdekaan (independence movement), khususnya yang mempunyai misi agama. Kami mulai membangun “Anjuman-i I’anat-i Nazarbandan-i Islam” (organisasi untuk membantu tahanan orang muslim). Ketika pergerakan Khilafah berdiri pada tahun 1919, saya juga ikut menjadi anggotanya.7 Dalam hari-hari tersebut saya juga menulis buku tentang riwayat hidup Mahatma gandhi (beliau juga mendukung Pergerakan Khilafah), tapi salah seorang dari kampung saya mengadu hal tersebut kepihak kepolisian dan buku saya disita. Setelah itu kami bertemu dengan seorang pemberani yang berasal dari Central Provinces. Beliau sebagai pelindung“Anjuman-i I’anat-i Nazarbandan-i Islam” namanya Taj al-Din, beliau juga aktif menulis dan editor majalah mingguan Taj dari Jabalpur. Masa itu adalah masa yang sangat sulit bagi pembisnis berita. Kami hanya mampu berkerja dengan Taj dalam beberapa bulan saja setelah itu meninggalkan Jabalpur, pertama ke Bhopal dan selanjutnya ke Delhi.
Jurnalis memaksa saya untuk belajar bahasa Inggris. Saya bernasib baik bisa bertemu dengan tutor Maulana Muhammad Fazil. Saya belajar buku-buka dasar bahasa Inggris dengan beliau dalam empat sampai lima bulan. Setelah itu saya tidak lagi memakai tutor dan belajar sendiri dengan cara membaca koran, artikel dan buku-buku, hal ini saya praktekan selama lebih kurang dalam dua tahun. Pada awalnya saya kurang faham, tetapi saya terus berusaha dengan gigih untuk memahami semua jenis teks dengan bantuan kamus, sehingga arti (ma’na) dari semua perkataan dan cara mengunakannya dapat saya fahami dengan baik. Dengan bahasa Inggris saya bisa mempelajari sejarah, philosofi, ilmu politik, ekonomi, agama, ilmu sosial dan ilmu-ilmu sains lainya dengan mudah.
Sejak itu, propesi saya dan abang saya sama sebagai jurnalis, tetapi pada tahun 1920 kami berbeda jalan. Abang saya meninggalkan jurnalis dan saya menekuninya. Saya kembali ke Jabalpur dan berkerja dengan Taj al-Din editor majalah Taj. Pada awalnya majalah Taj terbit tiap minggu setelah itu berubah menjadi setiap hari. Saya kerja sendirian dan juga membantu Taj al-Din dalam aktivitas politik. Ketika itu Pergerakan Khalifah di Jabalpur baru mulai dan saya salah seorang dari orang muslim yang bergabung dengan Congress (partai) dalam masalah ini. Ketika itu sedikit sekali ahli pidato dikalangan orang muslim, kemudian saya mulai mengisi ceramah walaupun sebenarnya saya tidak layak untuk tugas tersebut.
Setidak-tidaknya, apa yang terjadi di Jabalpur banyak memberi manfa’at kepada saya. Pertama, saya menjadi yakin yang sebelumnya tidak saya miliki. Pada awalnya saya merasa bingung terhadap tanggungjawab yang diberikan kepada saya dan merasa ragu-ragu sebelum menerima tugas. Tapi di Jabalpur tidak ada tempat untuk saya bergantung kecuali terhadap diri sendiri dalam menjalankan semua tugas yang berhubungan dengan orang banyak. Dan saya merasa disana ada kekuatan tersembunyi yang membantu saya disaat saya membutuhkan. Sejak itu, saya tidak pernah menolak dari menerima tanggungjawab. Kedua, saya menjadi orang yang bebas dalam kehidupan saya. Hal ini sangat jelas ketika saya tinggal di Jabalpur yang sebelumnya saya selalu tinggal dengan orang sekampung dengan saya.
Profesi saya sebagai jurnalis di Jabalpur tidak berjalan lama. Malangnya lagi, sebuah artikel tentang kritikan saya terhadap pemerintahan membawa dampak negatif kepada editor dan percetakan majalah Taj al-Din. Hal ini menjadi beban yang berat kepada saya dan saya berjanji kepada diri saya sendiri untuk tidak menekankan tanggungjawab kepada pekerjaan akan tetapi tetap bertanggungjawab kepada hasil tulisan saya.
Pada akhir tahun 1920 saya kembali ke Delhi. Kira-kira pada awal tahun 1921 saya bertemu dengan Maulana Mufti Kifayatullah dan Ahmad Said, Amir dan Sekretaris Jendral Jamiat-i Ulama’ Hindi. Kemudian majalah resmi Jamiat The Muslim diterbitkan dan saya diangkat sebagai editor. Majalah tersebut cuma bisa bertahan sampai tahun 1923.
Antara tahun 1916-1921 adalah tahun yang amat susah yang saya rasakan dalam kehidupan saya dan berpindah-pindah dari satu tempat ketempat yang lain. Oleh itu, saya tidak bisa menjalankan pendidikan saya dengan sempurna. Disamping kesibukan sebagai jurnalis ketika saya tinggal di Delhi tahun 1921, diwaktu luang saya sempatkan diri untuk belajar literatur Arab, tafsir, hadits, fiqh dan mantiq (logic) dari berbagai tutor. Dan bercita-cita untuk mengetahui semua bidang ilmu pengetahuan.
Pada tahun 1923 sekali lagi majalah The Muslim dilarang untuk beredar dipasaran dan saya memutuskan untuk meninggalkan Delhi menuju Hyderabad. Dalam perjalanan saya dideportasi ke Bhopal. Saya belajar lebih kurang setahun setengah di Bhopal dan tidak bekerja apa-apa dan menghasilkan satu atau dua artikel saja. Pada tahun 1924 saya kembali ke Delhi. Disana saya berjumpa dengan Maulana Muhammad Ali. Beliau meminta saya untuk membantu menerbitkan korannya yang bernama Hamdard. Tetapi Maulana Ahmad Said (editor majalah Al-Jami’at) juga meminta saya untuk berkerja dengan beliau. Tapi saya memilih untuk berkerja dengan Al-Jami’at karena sebelumnya saya sudah kenal baik dengan editor majalah tersebut. Dengan pilihan ini saya bisa lebih independen. Dari tahun 1925 ketika Al-Jami’at mulai, dan sampai berhenti penerbitan pada tahun 1928 saya yang bertanggungjawab keatas majalah tersebut.
Dihari-hari tersebut disamping sebagai seorang jurnalis, saya juga belajar subjek-subjek yang lain, seperti Bahasa Arab dan membaca buku-buku lain. Dalam masa ini, saya juga menulis dua buku yang berjudul: Al-Jihad fi al-Islam (Jihad dalam Islam) dan Daulat-i Asifiyyah wa Hukumat-i Britaniyyah (Pemerintahan Asifiyyah dan kekuasan British). Di Delhi saya juga belajar Bahasa Jerman, tetapi tidak sampai selesai karena setelah sebulan setengah belajar tutor saya meninggalkan Delhi. Selama sepuluh tahun tinggal di India secara mental saya mengalami siksaan, khususnya ketika menjadi seorang jurnalis koran Urdu. Maka pada tahun 1928 saya mengundurkan diri dari Al-Jami’at dan memutuskan untuk menumpukan semua waktu kedalam tulis menulis dan mengedit pekerjaan yang saya minati. Pada Desember 1928 saya pergi ke Hyderabad dan tinggal disana sampai Agustus 1930. Diantara tahun tersebut, saya menulis sejarah kerajaan Seljuk dan menterjemah beberapa bab dari buku Ibn Khalkan tentang kerajaan Fatimiyah.
Pada tahun 1930 saya jatuh sakit dan kembali ke Delhi. Saya tinggal disana beberapa bulan sampai kesehatan saya agak membaik. Dari Delhi saya pergi ke Bhopal dan tinggal disana dalam beberapa bulan untuk mengumpulkan bahan-bahan tentang sejarah Deccan. Pada Juli 1931 saya kembali ke Hyderabab dan meneruskan riset tentang sejarah Deccan. Dalam selah-selah waktu tersebut saya juga menyiapkan riwayat hidup Nizam al-Mulk Asifjah dan setelah dicetak kedua buku ini laris dipasaran. Saya juga menterjemahkan buku Al-Asfar al-Arba’ah buah karya Allama Sadr al-Din Shirazi untuk Universitas Usmania, buku ini termasuk salah satu buku dalam bahasa Arab yang paling sulit untuk difahami.8
Menulis artikel dan karang-mengarang menjadi hobby saya sejak umur sembilan tahun lagi. Suatu hari teman dekat saya Ishfaq Ahmad Zahidi, orangnya cerdas dan mempunyai semangat besar dalam tulis menulis datang ke Awrangabad dan tinggal dengan kami untuk beberapa waktu. Abang saya dan saya sangat suka dalam tulis menulis dan senang dengan isu kemasyarakatan dan politik, kami sering membaca koran dan berita lainnya. Suatu hari beliau (Ishfaq Ahmad Zahidi, pent) ingin mencoba kapabilitas kami dengan memberi satu judul untuk dituliskan. Judul tersebut “I had fallen in love with a girl and I was to write her a letter describing my attraction to her and my pains”. Sebenarnya kami tidak siap untuk menulis tema seperti ini. Dan lagi, hidup saya selama ini tidak mendukung hal tersebut, secara mental saya tidak mempunyai kapasitas untuk mencintai dan dicintai. Walupun begitu saya juga pernah membaca syair-syair tentang cinta dalam buku Gulistan dan Bustan.9 Saya percaya bahwa perasaan cinta ketika memandang wajah yang cantik adalah penyakit yang membuat hati semakin bergelora......saya mengelaborasi tulisan saya dengan buah fikiran ini. Tidak seorangpun termasuk juga Ishfaq yang ingat apa yang kami tulis, akan tetapi beliau (Ishfaq) suka denga tulisan saya karena lebih baik dari tulisan abang saya.
Setelah itu, walaupun saya sangat antusias dan punya peluang dalam tulis menulis, tapi hal tersebut sempat berhenti seketika karena ayah saya sangat cemas dengan pembelajaran kami, lalu kebanyakan waktu kami ditumpukan untuk membaca. Jadi, saya banyak membaca buku dalam bahasa Urdu dari berbagai disiplin ilmu serta berbagai jenis literatur.
Pada tahun 1914 saya lulus ujian Maulawi dan abang saya menganjurkan kepada saya untuk menterjemah buku hasil karya Qasim Amin yang berjudul Al-Mar-ah Al-Jadidah (Perempuan Modern, cetakan pertama pada tahun 1899) kedalam bahasa Urdu.10 Allah maha tahu dimana letaknya lembaran-lembaran terjemahan itu berada, tapi yang masih saya ingat adalah ketika saya sodorkan hasil terjemahan itu kepada ayah saya, beliau merasa gembira. Ini adalah karya saya yang pertama. Terus, pada tahun 1917 ketika saya di Bhopal saya mencoba untuk meningkatkan skill dalam tulis menulis disamping saya menambah bacaan dari buku-buku lain. Keinginan untuk menjadi seorang penulis adalah termasuk cita-cita saya sejak kecil lagi. Pada mulanya bentuk tulisan saya banyak dipengaruhi oleh tulisan-tulisan orang lain, tetapi pada tahun 1921 saya sudah memiliki bentuk dan gaya penulisan tersendiri dan tidak meniru dari orang lain.
Saya percaya, setiap pemikiran dan pendapat mempunyai pembendaharaan kata tersendiri dan setiap hasil pemikiran biasanya dituangkan dalam bentuk tulisan dengan jelas dan dengan kalimat-kalimat yang pas. Jadi, saya sangat berhati-hati dalam memilih kata-kata ketika menulis. Hasilnya, saya bisa berhemat dalam tulisan (tidak muluk-muluk, Pent) dan setiap waktu saya berusaha untuk mengumpul informasi dan mengolahnya dengan baik sehingga menjadi sebuah fikiran yang bermanfaat.
Catatan kaki
1 Saya merasa berhutang budi dengan Iqbal Ahmad Khan dan Zafar Ishaq Ansari atas komentar dan saran mereka yang sangat berharga dalam penyusunan draf pertama penterjemahan ini.
2 Jama’at-I-Islami pada mulanya didirikan di India pada tanggal 26 Agustus 1941, setelah berpisah dengan India pada tahun 1947, Jama’at-I-Islami pecah menjadi tiga cabang, Jama’at-I-Islami India, Pakistan dan Jammu dan Kashmir. Walaupun ketiga-tiganya mengikuti ide Maudoodi, tetapi secara organisatoris mereka berbeda dan independen. Pada tahun 1947 Maudoodi terpilih menjadi Amir (ketua) Jama’at-I-Islami Pakistan. Dan pada tahun berikutnya berdiri pula cabang Jama’at-I-Islami di Bangladesh dan Sri Langka. Untuk lebih jelasnya tentang organisasi-organisasi ini silakan lihat: Mumtaz Ahmad “Islamic Fundamentalism in South Asia: The Jama’at-I-Islami and The Tablighi Jama’at” in Martin E. Marty and R. Scott Appleby, eds, Fundamentalism Observed (Chicago: University of Chicago Press, 1991), pp.457-530: Rafiuddin Ahmad, “Redefining Muslim Identity in South Asia: Islamic Fundamentalism in South Asia: The Transformation of the Jama’at-I-Islami, in Martin E. Marty and R. Scott Appleby, eds, Accounting for Fundamentalism: The Dynamic Character of movements (Chicago: University of Chicago Press, 1994), pp. 699-705: Kalim Bahadur, The Jama’at-I-Islami of Pakistan (New Delhi: Chetana Publications, 1977), Violette Graff, “La Jama’at-I-Islami en Inde, in Oliver Carre and Paul Dumont, eds, Radicalismes Islamiques, (Paris: L’Hartmannn, 1986), vol. 2, pp. 59-72: dan Sayyed Vali Reza Nasr, The Vanguard of the Islamic revolution: The Jama’at-I-Islami of Pakistan ( Berkeley: University of California Press, 1994).
3 Beberapa buku dan artikel yang membicarakan tentang ideologi Maulana Maudoodi, seperti: Sheila McDonough, Muslim Ethics and Modernity: A Comparative Study of the Ethics Thought of Sayyed Ahmad Khan and Maulana Maudoodi (Waterloo, Ontario: Wilfred Laurier University Press, 1984); Masudul Hasan, Sayyed Abul A’ala Maudoodi and His Thought, 2 vols (Lahore: Islamic Publications, 1984); Charles J. Adams, The Ideology og Maulana Maudoodi, in Donald E. Smith, ed, South Asian Politics and Religion (Princeston: Princeston University Press, 1966), pp. 371-97; idem, Maulana Maudoodi and the Islamic State, in John L. Esposito, Voices of Resurgent Islam ( New York: Oxfoooord University Press, 1983) pp. 99-133; Khursid Ahmad and Zafar Ishaq Ansari, Maulana Sayyed Abul A’la Maudoodi: An Introduction to His Vision of Islam and Islamic revival, in Khursid Ahmad and Zafar Ishaq Ansari, eds, Islamic Perspectives: Studies In Honour of Maulana Sayyed Abul A’la Maudoodi (Leicester: The Islamic Foundation, 1979), pp. 359-84.
4 Tentang pengaruh Maudoodi terhadap ekspresi Islam kontemporer di Dunia Islam, silakan lihat “Islamic Da;wah in the West: Muslim Missionary Activity and the Dynamics” Larry Poston.
5 Ide Ahmad Hasan (Bapak Maudoodi) ini pada tahun berikutnya memberi pengaruh yang sangat kuat terhadap pandangan Maudoodi dengan system perundang-undangan di sebuah Negara Islam. Dalam karyanya, Maudoodi mengkritik cara perundang-undangan Barat dalam menyelesaikan suatu masalah dengan mendatangkan lawyer, cara ini akan memberi izin kepada orang lain untuk membela kebohongan dalam satu permasalahan. (lihat, Sayyed Abu al-‘Ala Maudoodi, Islamic Law and Consitiutsion, edited Khursid Ahmad, (Karachi: Jamaat-e-Islami Publications).
6 Maulana Farahi adalah alumni Aligarh dan dekat dengan Shibli Nu’mani (1857-1914). Beliau seorang yang alim dalam mentafsirkan Al-Quran dan juga sebagai pelindung Muslim Education. Ide-idenya tentang pendidikan banyak ditelurkan di Universitas Usmania Hyderabad dan Madarasatul Islah Sara’i Mir di Azamgarh. Untuk lebih jelasnya tentang riwayat hidup Farahi dan tafsirnya, lihat Mustansir Mir Choherence in the Qur’an (Indianapolis: American Trust Publication, 1986), hal: 6-7 dan 42-44.
7 Untuk melihat lebih lanjut tentang Pergerakan Khilafah, lihat Gail Minault, The Khilafat Movement: religious Symbolisms and political Mobilization in India (New York: Columbia University Press, 1982).
8 Maudoodi hanya menterjemahkan sebagian saja dari Asfar. Dan penterjemahan tersebut dibawah bimbingan Manazir Ahsan Gilani.
9 Perlu untuk difahami, walaupun kedua buku syair diatas berbicara tentang cinta, tetapi isinya sangat menitik beratkan kepada moral dan etika.
10 Yang menarik dari buku Qasim Amin adalah penulis mengetengahkan argumen-argumen intelektual muslim terhadap perempuan. Yang kemudian hari dibantah oleh Maudoodi.
1 Saya merasa berhutang budi dengan Iqbal Ahmad Khan dan Zafar Ishaq Ansari atas komentar dan saran mereka yang sangat berharga dalam penyusunan draf pertama penterjemahan ini.
2 Jama’at-I-Islami pada mulanya didirikan di India pada tanggal 26 Agustus 1941, setelah berpisah dengan India pada tahun 1947, Jama’at-I-Islami pecah menjadi tiga cabang, Jama’at-I-Islami India, Pakistan dan Jammu dan Kashmir. Walaupun ketiga-tiganya mengikuti ide Maudoodi, tetapi secara organisatoris mereka berbeda dan independen. Pada tahun 1947 Maudoodi terpilih menjadi Amir (ketua) Jama’at-I-Islami Pakistan. Dan pada tahun berikutnya berdiri pula cabang Jama’at-I-Islami di Bangladesh dan Sri Langka. Untuk lebih jelasnya tentang organisasi-organisasi ini silakan lihat: Mumtaz Ahmad “Islamic Fundamentalism in South Asia: The Jama’at-I-Islami and The Tablighi Jama’at” in Martin E. Marty and R. Scott Appleby, eds, Fundamentalism Observed (Chicago: University of Chicago Press, 1991), pp.457-530: Rafiuddin Ahmad, “Redefining Muslim Identity in South Asia: Islamic Fundamentalism in South Asia: The Transformation of the Jama’at-I-Islami, in Martin E. Marty and R. Scott Appleby, eds, Accounting for Fundamentalism: The Dynamic Character of movements (Chicago: University of Chicago Press, 1994), pp. 699-705: Kalim Bahadur, The Jama’at-I-Islami of Pakistan (New Delhi: Chetana Publications, 1977), Violette Graff, “La Jama’at-I-Islami en Inde, in Oliver Carre and Paul Dumont, eds, Radicalismes Islamiques, (Paris: L’Hartmannn, 1986), vol. 2, pp. 59-72: dan Sayyed Vali Reza Nasr, The Vanguard of the Islamic revolution: The Jama’at-I-Islami of Pakistan ( Berkeley: University of California Press, 1994).
3 Beberapa buku dan artikel yang membicarakan tentang ideologi Maulana Maudoodi, seperti: Sheila McDonough, Muslim Ethics and Modernity: A Comparative Study of the Ethics Thought of Sayyed Ahmad Khan and Maulana Maudoodi (Waterloo, Ontario: Wilfred Laurier University Press, 1984); Masudul Hasan, Sayyed Abul A’ala Maudoodi and His Thought, 2 vols (Lahore: Islamic Publications, 1984); Charles J. Adams, The Ideology og Maulana Maudoodi, in Donald E. Smith, ed, South Asian Politics and Religion (Princeston: Princeston University Press, 1966), pp. 371-97; idem, Maulana Maudoodi and the Islamic State, in John L. Esposito, Voices of Resurgent Islam ( New York: Oxfoooord University Press, 1983) pp. 99-133; Khursid Ahmad and Zafar Ishaq Ansari, Maulana Sayyed Abul A’la Maudoodi: An Introduction to His Vision of Islam and Islamic revival, in Khursid Ahmad and Zafar Ishaq Ansari, eds, Islamic Perspectives: Studies In Honour of Maulana Sayyed Abul A’la Maudoodi (Leicester: The Islamic Foundation, 1979), pp. 359-84.
4 Tentang pengaruh Maudoodi terhadap ekspresi Islam kontemporer di Dunia Islam, silakan lihat “Islamic Da;wah in the West: Muslim Missionary Activity and the Dynamics” Larry Poston.
5 Ide Ahmad Hasan (Bapak Maudoodi) ini pada tahun berikutnya memberi pengaruh yang sangat kuat terhadap pandangan Maudoodi dengan system perundang-undangan di sebuah Negara Islam. Dalam karyanya, Maudoodi mengkritik cara perundang-undangan Barat dalam menyelesaikan suatu masalah dengan mendatangkan lawyer, cara ini akan memberi izin kepada orang lain untuk membela kebohongan dalam satu permasalahan. (lihat, Sayyed Abu al-‘Ala Maudoodi, Islamic Law and Consitiutsion, edited Khursid Ahmad, (Karachi: Jamaat-e-Islami Publications).
6 Maulana Farahi adalah alumni Aligarh dan dekat dengan Shibli Nu’mani (1857-1914). Beliau seorang yang alim dalam mentafsirkan Al-Quran dan juga sebagai pelindung Muslim Education. Ide-idenya tentang pendidikan banyak ditelurkan di Universitas Usmania Hyderabad dan Madarasatul Islah Sara’i Mir di Azamgarh. Untuk lebih jelasnya tentang riwayat hidup Farahi dan tafsirnya, lihat Mustansir Mir Choherence in the Qur’an (Indianapolis: American Trust Publication, 1986), hal: 6-7 dan 42-44.
7 Untuk melihat lebih lanjut tentang Pergerakan Khilafah, lihat Gail Minault, The Khilafat Movement: religious Symbolisms and political Mobilization in India (New York: Columbia University Press, 1982).
8 Maudoodi hanya menterjemahkan sebagian saja dari Asfar. Dan penterjemahan tersebut dibawah bimbingan Manazir Ahsan Gilani.
9 Perlu untuk difahami, walaupun kedua buku syair diatas berbicara tentang cinta, tetapi isinya sangat menitik beratkan kepada moral dan etika.
10 Yang menarik dari buku Qasim Amin adalah penulis mengetengahkan argumen-argumen intelektual muslim terhadap perempuan. Yang kemudian hari dibantah oleh Maudoodi.
No comments:
Post a Comment