Wednesday, September 26, 2007

Sekte-sekte Keagamaan di Pakistan

Oleh: Ayub Rohadi*


Pakistan, sebuah negara yang sangat kaya dengan sekte keagamaan di Asia Selatan. Sejak negeri ini memisahkan diri dari India melalui petisi India pada tahun 1947, aneka ragam sekte bermunculan, bahkan ikut serta dalam mengatur konstitusi Pakistan dengan mengacu kepada sistem al-Khilafah ar-Rashidah.


Proses Islamisasi ketata-negaraan telah menjadi ajang pertarungan antara dua kubu yang berbeda haluan; sekuleris yang dipelepori oleh Quadi Azama Ali Jinnah beserta rekan-rekannya yang memperoleh pendidikan di Inggris, dan para ulama Islam yang tergabung dalam ikatan ‘Jam’iya Ulama-e-Islam’ yang secara mayoritas jebolan “Darul ‘Ulum’ sebuah lembaga pendidikan terkemuka di India. Shabbir Ahmad Usmani dan Maulana Manzoor Usmani sebagai ulama yang terpilih untuk membenahi program Islamisasi undang-undang Pakistan di awal berdirinya.


Secara garis besar sekte keagamaan di Pakistan bisa kita bagi dalam empat tipologi:
Islam Tradisionalis: Deobandi, Ahl-e- Hadith, dan Barelvi; Revivalis: Jama’at Islami yang didirikan oleh Abu ‘Ala Maududi; Aliran-aliran non-Ahlu Sunnah (Shi’ah, Ahmadiyah dan Bahai’yah); Aliran Tasawwuf.

DEOBANDI

Deobandi berasal dari kata “Deva” dan “Ban”, sebuah hutan belantara di bagian provinsi utara India, Uttar Pradesh. Di tempat ini, sebelum berdirinya lembaga pendidikan pesantren “Darul ‘Ulum” telah berdiri sebuah candi besar dengan ratusan patung yang disembah oleh orang Hindu. Madrasah Deoband didirikan pada awal abad ke sembilan belas dengan tujuan mencetak para ulama yang mampu merubah kondisi masyarakat Muslim di anak benua India yang sudah mengalami kemerosotan sejak runtuhnya kerajaan Mughal di tangan Inggeris pada tahun 1857.[i]


Maulana Qasim Nanautavi, Maulana Kifayatullah dan beberapa tokoh lainnya sebagai pendiri lembaga pendidikan tingkat menengah ini. Secara historis Deobandi mengadopsi pemikiran Shah Wali-Allah, pembaharu Islam di anak benua India pada abad ke delapan belas yang menggabungkan semua disiplin ilmu agama seperti: Teologi, ilmu Logika (Mantiq), Fiqh, Tasawwuf, Tafsir, Hadith dan Filsafat. Dalam tempo kurang lebih seratus tahun Madrasah Deobandi telah berhasil mencetak ratusan para Maulana (Kiyai) yang mengembangkan ilmu keislaman di Asia Selatan.


Di wilayah Pakistan, sekarang ini ratusan madrasah yang meniru metode Deobandi dengan kajian kitab tematis dan sistem membaca kitab sampai tuntas. Biasanya para siswa sebelum masuk sekolah ini mereka terlebih dahulu menghafal al-Qur’an sebagai bekal utama dalam memahami ilmu Syar’i. Setelah itu mereka mulai mendalami ilmu alat seperti: Nahwu, Sharaf, Balaghah, ilmu al-Qur’an, ilmu Hadits dll. Pada belakangan terakhir ini pemerintah Pakistan telah menyamakan syahadah Deobandi “Aliyah” setarap dengan (B.A), “Fadhil” setarap dengan (MA.), dan Mufti setarap dengan (Doktor).


Organisasi Politik, Da’wah dan Jihad Deobandi:

Deobandi pada dasarnya sebuah lembaga pendidikan yang memfokuskan diri dalam dunia pendidikan. Biasanya para alumni dari Sekolah ini sangat sulit memisahkan diri dari nama Deobandi seusai tamat pendidikannya, sebagai contoh banyak mereka yang menggunakan nama tambahan di belakang namanya semisal Maulana Shafi’ Usmani Deobandi, Maulana Kifayatullah Deobandi dsb. Kerekatan nama pendidikan ini dengan para alumninya merupakan tolok-ukur dalam berbagai gerakan yang dibentuk oleh para alumni. Dewasa ini ada beberapa organisasi yang berafiliasi kepada Deobandi, di antaranya: Jam’iyat Ulama-e-Islam (JUI), sebuah orsospol terkemuka di Pakistan yang aktif dalam gerakkan Islamisasi Pakistan dengan tuntuan penerapan Syari’at Islam. Namun sangat disayangkan organisasi ini selalu diperalat oleh partai sekuler lainnya yang tampil di arena perpolitikan Pakistan sehingga pecah menjadi dua kubu, JUIF (Jam’iyat Ulama-e-Islam Fazlur Rahman) dan JUIS (Jam’iyat Ulama-e- Islam Samiul Haque) yang pada pemilu 2002 partai ini tergabung dalam koalisi partai-partai Islam MMA (Majlis Muttahida Amal) yang terdiri dari berbagai sekte-sekte agama di Pakistan, seperti: Deobandi, Ahlul Hadith, Brelvi, Shi’ah dan gerakkan Islam Jama’at Islami. Misi politik yang diusungkan JUI adalah mengislamkan undang-undang Pakistan dan penerapan Syari’at Islam dan mengejawantahkan masa keemasan Islam di zaman Khulafaur Rasyidin.

Gerakkan Isya’at Tauhid wa-Sunnah:

Adapun Gerakan Da’wah yang berkiblat kepada Deobandi adalah gerakan Isya’at Tauhid Wassunnah, sebagai lembaga Da’wah yang didirikan oleh Maulana Hussain Ali pada tahun 1957 di Provinsi Punjab. Hingga saat ini jama’ah ini bekerja dalam penegakkan Tauhid dan penerapan Sunnah, serta menentang hal-hal yang dianggap bid’ah dan khurafat. Pada dasarnya gerakan ini muncul sebagai reaksi terhadap faham Brelvi yang berkembang pesat diseluruh provinsi Pakistan dan khususnya di provinsi Sind.[ii]

Tehrik Khatmun Nubuwwa:


Gerakkan Khatmun Nubuwwa (Tehrik Khatmun Nubuwwa) muncul sebagai reaksi terhadap Qadianiyah dan Bah’aiyah dalam soal klaim kenabian. Gerakan ini berusaha untuk mengkanter faham Ahmadiyah yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1924 atas dukungan Inggris, sebagai orang yang mengaku nabi setelah nabi Muhammad saw. Begitu juga gerakan Bahaiyya yang mengklaim bahwa Bahaullah, pendiri gerakkan sesat tersebut mengaku sebagai nabi dan imam mahdi.


Didirikan oleh Maulana Anwar Shah Kashmiri pada konfrensi Jam’iyat Ulama Hind pada tahun 1930, namun saat pemisahan antara teritorial Pakistan dan India gerakan ini dideklarasikan kembali pada tahun 1953 di lapangan menara Pakistan, Lahore dan Maulana Ataullah Bukhari terpilih sebagai ketua.

Tehrik Sipah -e- Sahabah:

Sebuah gerakkan radikal atau jihadi yang kebanyakan angotanya alumnus Deobandi. Biasanya gerakan ini melancarkan serangan bersenjata kepada pengikut Shi’ah di wilayah Pakistan. Didirikan oleh Haq Nawaz Jhanggavi di provinsi Punjab dengan sebab konflik kuat antara Shi’ah dan Sunni di wilayah tersebut. Hingga saat ini ratusan orang yang meninggal dari dua belah pihak semenjak terjadinya konflik antara sekte. Sipah-e- Sahabah sudah cukup jelas dari namanya sebagai pembela para sahabat yang selama ini didiskriminasikan oleh kaum Shi’ah.

Ahlul Hadits:

Sebuah gerakan yang mengaku dirinya sebagai penegak Sunnah Nabi telah berdiri pada abad ke 19 sebagai reaksi terhadap konflik yang berkelanjutan antara Deobandi dan Brelvi yang secara ideologis sangat kontroversial sekalipun keduanya bermazhab Hanafi dan mengklaim sebagai pengikut Ahlus Sunnah wal-jama’ah. Namun Ahlul Hadits melihat hal ini hanya merupakan semboyan semata yang pada hakekatnya masih belum mengikuti Sunnah Nabi.


Ahlul Hadits muncul dengan gaya pemahaman yang sangat radikal dengan menolak empat mazhab fiqh yang dianut oleh kebanyakan ummat Islam di dunia. Mereka hanya melaksanakan ajaran Islam sesuai dengan tuntunan hadits shahih dan menganjurkan kepada para pengikutnya untuk berijtihad baik itu orang awam ataupun terpelajar.


Menurut Murray Titus, seorang penulis Barat yang banyak mengamati soal perkembangan gerakan Islam di anak Benua India bahwa gerakan ahli Hadits yang didirikan oleh Nawab Siddiqu Hasan Khan, dan Sayyid Nazir Husain dengan sebab merebaknya konflik antar sekte Islam di anak benua India khususnya antara Deobandi dan Brelvi. Maka pengikut ahli Hadits mengambil jalan tengah untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan mengambil contoh zaman para sahabat dan tabi’in. Masa itu adalah masa keemasan ummat Islam karena mereka hanya bertahkim kepada Qur’an dan Sunnah serta menjauhkan hal-hal yang bid’ah.[iii]

Aqidah Ahlul Hadits:

Secara akidah, tidak ada perbedaan antara ahlul Hadits dan Deobandi kecuali dalam pendekatan ilmu teologi. Ahlul Hadits lebih banyak melakukan pendekatan kepada metode salaf as-Saleh dalam memahami paradigma teologis, sedangkan Deobandi mengikuti metode klasik dengan cara mengadopsi metode mutakalimmin tradisionalis semisal Imam Maturidi, ar-Razi, al-Ghazali, Abul Hasan al-As’ari dsb.


Ahlul Hadits berpegang teguh kepada akidah Tauhid, dan menjauhkan hal-hal yang menjerumuskan kepada kemusyrikan sebagaimana dilakukan oleh mayoritas orang Brelvi;
Berpegang teguh kepada Sunnah sebagai sumber Syaro’ah yang kedua, dai ia tidak bisa dipisahkan dengan al-Qur’an sebagai gerakkan inkarussunnah memahami Islam;
Menolak mazhab fiqh yang empat sebagaimana dianut oleh mayoritas ummat Islam di dunia;
Menganjurkan berijtihad kepada para pengikutnya sekalipun mereka awam terhadap nash al-Qur’an dan Hadits;


Meyakini bahwa Mazhab Ahlul Hadits merupakan mazhab yang lebih mendekati kepada manhaj Rasulullah dan para sahabatnya.

Brelvi:

Brelvi adalah sebuah tempat di provinsi bagian utara India, Uttar Pradesh, sebagai tempat permulaan muncul sekte ini. Didirikan oleh Muhammad Riza Khan, seorang ulama berasal dari Afghanistan pada abad ke 19. Para pengikut Brelvi menyebar di empat provinsi yang ada di Pakistan; Punjab, Balochistan, Sind dan NWFP (North West Frontier of Pakistan). Sebenarnya bukan hanya di Pakistan tapi di seluruh wilayah anak benua India.


Ketika pemisahan Pakistan dari India, ribuan pengikut Brelvi hijrah ke Pakistan dan mayoritas menetap di wilayah Sind, provinsi yang berada di sebelah selatan. Di wilayah ini pengikut Brelvi banyak melakukan rekrutmen terhadap organisasi politik terkenal bernama MQM (Mohajir Qaumi Movement) yang menginginkan Sind independen dari Pakistan.[iv]


Namun secara demografis, sekarang ini, pengikut Brelvi tersebar di seluruh provinsi Pakistan, bahkan para elite Brelvi yang mendapatkan posisi di pemerintahan banyak membantu segala urusan yang berkenaan dengan program sekte ini. Misalnya soal perayaan Miladun Nabi, pemerintah Pakistan setiap tahun merayakannya secara besar-besaran dengan penayangan di televisi nasional, begitu juga ketika masyarakat Brelvi ingin membangun Mesjid di suatu tempat untuk mendapatkan izin membangun sangatlah mudah karena banyak pegawai pemerintah Pakistan yang bermazhab Brelvi.

Akidah Brelvi:


Ada beberapa akidah yang jika ditinjau secara cermat banyak yang menyimpang dari ajaran Nabi Muhammad saw. Sekalipun orang Brelvi mengklaim bahwa mereka adalah pengikut ahlus Sunnah wal-jama’ah. Ajaran Brelvi memang pada mulanya sebuah usaha penggabungan antara ajaran Hindu dan Islam dengan tujuan membentuk persaudaraan antara orang-orang Hindu dan Islam. Tapi, hasilnya banyak sekali ajaran-ajaran yang menyimpang dari Islam, dan yang ada adalah khurafat dan bid’ah.


Pengikut Brelvi menolak Nabi Muhammad sebagai manusia biasa;
Roh Nabi Muhammad ada di mana-mana dan mampu melihat segala perbuatan pengikutnya;
Nabi mampu melihat hal-hal yang ghaib di masa lalu dan di masa yang akan datang;
Memohon bantuan kepada Nabi dan orang sheleh atau seorang sufi;
Membangun kuburan secara megah dan menghiasnya dan tawwaf di kuburan;
Mengadakan milad Nabi dan urs para Sufi khususnya Abdul Qadir Jilani;
Mengecup jempol tangan ketika mendengar nama Nabi Muhammad saw.


Partai Politik Brelvi:

Seperti kebiasaan sekte-sekte Islam di Pakistan ikut serta dalam dunia politik, Brelvi-pun turut membentuk partai politik dengan nama JUP (Jam’iyatul Ulama-e- Pakistan) yang didirikan pada tahun 1948 di Karachi. Badan pendiri partai yang berbasis Brelvi ini adalah para Mullah di antaranya: Maulana Abdul Hamid Badauni, Sayyid Muhammad Ahmad Qadiri, Ahmad Said Kazimi.

Tujuan politik yang digagaskan JUP sebenarnya tak jauh berbeda dengan cita-cita parpol lain semisal JUI dan Jama’at Islami, yakni membentuk konstitusi Islam dalam perundang-undangan Pakistan, membentuk mahkamah syari’ah, dan membela hak-hak wanita dsb. Namun amat disayangkan, setiap partai yang dipimpin oleh para Mullah selalu gagal dan pecah menjadi beberapa fraksi. JUP sendiri pada saat ini pecah menjadi empat bentuk fraksi;
- JUP Ahmad Shah Nurani (Al-Marhum) yang masih aktif dan bergabung dalam MMA (Majlis Muttahidah Amal);
- JUP Fazal Karim Group;
- JUP Niazi Group;
- Nifazi Shari’at Group.

Jama’ah Tabligh:

Jama’ah Tabligh adalah gerakan Da’wah yang sudah tersebar hampir di seluruh dunia. Tabiat jama’ah ini mengajak orang kepada sunnah Nabi dan menjauhkan hal-hal bid’ah dan khurafat serta tidak membicarakan masalah perbedaan mazhab dan parpol. Maulana Ilyas, seorang Ulama jebolan sekolah menengah Deobandi, pada tahun 1924 ia mendirikan jama’ah ini di kampung Mewat, India, daerah kelahirannya usai kembalinya dari tanah suci. Banyak faktor yang mendorong berdirinya gerakan da’wah ini baik itu internal maupun eksternal. Secara eksternal konflik yang berkepanjangan antara ummat Hindu dan Islam di beberapa wilayah India, dan secara internal banyak orang Islam yang murtad dari Islam gara-gara orang Hindu, begitu juga kemusyrikan yang menyebar luas di kalangan masyarakat Islam.

Metode Da’wah Jama’ah Tabligh:
Mengajak Orang kepada akidah tawhid (Kalimat Tayyibah);
Mengajak orang untukmelaksanakan shalat secara benar dan khusu;
Menuntut ilmu dan berzikir;
Menghormati sesama Muslim, dan membantu mereka sebagaimana dicontohkan oleh Ansar terhadap muhajirin;
Ikhlas dalam beramal;
Keluar di Jalan Allah (Khuruj fi-Sabilillah).

Jama’at Islami:

Para penulis barat menjuluki gerakkan jama’at Islami sebagi sebagai kaum fundamenlis dan revivalis. Secara histories Jama’at Islami telah hadir pada saat pergolakan ideologi dan politik di wilayah anak benua India sebelum munculnya ide two nation states. Jama’at Islami sebagai brain-child Abu ‘Ala Maududi (1903-1979). didirikan pada 26 Agustus 1941 di India. Setelah pemerintah Inggris memutuskan pembentukan dua negara yang berbeda; antara Islam dan Hindu, Maududi hijrah ke wilayah Pakistan dan melanjutkan cita-citanya dalam membentuk negara Islam yang berdaulat, dan mengislamkan semua aspek kehidupan. Inspirasi ini, sebenarnya muncul dari interaksi pemikiran Maududi dengan gerakan kebangkitan Islam (Islamic Resurgence) pada pertengahan abad ke 19 yang dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, begitu juga dengan gerakkan Ikhwanul Muslimin (1928) di Mesir.

Maududi menggambarkan sebuah negara Islam yang menerapkan sistem Islam dengan meyakini otoritas penuh terhadap syari’at Islam dengan cara membenahi pribadi Muslim yang komitmen terhadap ajaran Islam terlebih dahulu. Melalui karya-karyanya Maududi menyumbangkan buah pemikirannya untuk umat. Maka tidak satu aspek-pun dalam kehidupan manusia modern kecuali Maududi telah merumuskannya.

Pada dasarnya, metode pembinaan Jama’at Islami identik dengan gerakan Ikhwanul Muslimin dengan memulai pembenahan dari individu Islami, keluarga Islami, Masyarakat Islami dan Negara Islam. Namun ada sedikit kekurangan dalam perjuangan jama’at Islami ketika menterjemahkan konsep pemikiran Maududi dalam koridor politik, dan lengah terhadap etape pembenahan individu, keluarga dan masyarakat.

Secara khazanah intelektual, jama’at Islami banyak andil dalam menyumbangkan pemikiran terhadap persoalan modern, hingga saat ini ratusan buku yang ditulis oleh pemikir Jama’at Islami semisal Prof. Khurshid Ahmad, Dr. Anis Ahmad, Dr. Ja’far Ishaq Ansari dan yang lainnya untuk merespon problematika kontemporer. Kelebihan jama’at Islami secara garis besar bahwa ia mampu berinteraksi dengan perkembangan masyarakat dan memberikan respon yang cukup layak dan ilmiah.

Sekte Non-Ahlu Sunnah:

Ada beberapa sekte yang terbilang keluar dari ajaran ahlu Sunnah wal-jama’ah di anak benua India pada umumnya dan di Pakistan pada khususnya. Di antara sekte-sekte tesebut adalah: Syi’ah, Bahaiyah, Qadianiyah dan inkarus Sunnah. Syi’ah mulai mendapatkan dukungan setelah revolusi Iran yang dipimpin oleh Khomeini pada tahun tujuh-puluhan yang kemudian mengembangkan misi ke negeri jiran; Pakistan dan Afghanistan. Apalagi secara historis Pakistan didirikan oleh seorang proklamator Syi’ah, Quadi Azam Ali Jinnah.

Adapun Bahaiyah yang berasal dari mazhab Syi’ah Itsna’asyriyah identik dengan Qadianiyah, yakni pengakuan pendiri kedua mazhab tersebut sebagai Nabi akhir zaman. Menurut Bahaiyah bahwa Bahaullah, pendiri aliran sesat ini adalah seorang Nabi dan menjelma sebagai Imam Mahdi. Begitu juga Mirza Ghulam Ahmad Qadiani, pendiri aliran Qadianiyah telah mengaku nabi pada tahun 1924 atas dasar rekayasa pemerintah Inggris saat menguasai wilayah anak benua India.

Pada awal abad ke 20, aliran inkarus Sunnah muncul secara resmi di kota Lahore. Maulana Abdullah Chakrawali sebagai pendirinya benyak mendapatkan inspirasi dari Sir Seyyed Ahmad Khan yang secara tidak lamgsung sering memojokkan sunnah dalam berbagai tulisannya. Inkarus Sunnah berkeyakinan bahwa hanya al-Qur’an yang bisa dianggap absah sebagai sumber otoritas agama, sunnah sangatlah sulit untuk dilacak kebenarannya. Ide-ide seperti ini kemudian didukung oleh Dr. Fazlur Rahman lewat karya-karyanya yang menobatkan Islam sebagai risalah moral dan al-Qur’an sebagai kitab yang membawa pesan moral tersebut.

Aliran Tasawwuf:

Tasawwuf Islam merupakan khazanah peradaban spiritual Islam yang muncul sejak abad kedua Hijrah. Pakistan, sebuah negara yang sangat kaya dengan aliran tasawwuf, dari tasawwuf yang berepegang teguh kepada Sunnah Rasul hingga kepada tasawwuf yang menggabungkan antara Islam dengan ajaran agama Hindu.Di antara aliran tasawwuf yang terkenal di Pakistan adalah: Chistiyah, Qadiriyah, Naqsyabandiyah dan Shahrawardiyah.

Penutup:

Pluralitas sekte di Pakistan merupakan realita yang tidak bisa dipungkiri. Masyarakat Pakistan adalah masyarakat yang majemuk secara aliran keagamaan ataupun secara suku. Dari segi mazhab, masyarakat Pakistan mengikuti ajaran Imam Maturidi dalam aspek teologis, dan pengikut imam Abu Hanifah dalam mazhab Fiqh. Adapun secara suku masyarakat Pakistan terbagi pada beberapa suku, di antaranya: suku Pukhtoon (Pashto), Baluchi, Sindi dan Punjabi.
Dalam pandangan Islam, pluralitas agama, suku dan sekte bukanlah hal yang aneh ataupun tabu. Pluralitas merupakan sunnah kauniyah yang sudah digariskan oleh Allah swt. Yang paling penting dalam menyikapi perbedaan mazhab keagamaan dan suku adalah sikap toleransi dan saling memahami. Namun amat disayangkan, masyarakat Pakistan terbilang sebuah masyarakat yang fanatik terhadap sekte yang dianutnya, bahkan yang lebih tidak wajar sikap ekslusif yang ditonjolkan dengan keyakinan bahwa ia sajalah yang berada pada garis kebenaran sedangkan orang lain berada pada kebatilan. Lihat saja di sekitar kita, ada mesjid Deobandi, ada mesjid Brelvi, ada mesjid Ahlu Hadits dan ada pula mesjid Syi’ah. Di antara jama’ah mesjid tersebut tidak ingin saling bertemu dalam satu majlis, bahkan yang ada sikap saling mengkafirkan dan menyesatkan. Wallahu’alam Bisshawab.

*Penulis adalah Alumni University of Karachi - Pakistan, dengan judul desertasi "Modern Islamic Thought in Indonesia and Pakistan:Its Emergences and Development in Both Countries".
[i] - Lihat: Akbar S. Ahmad, Living Islam: From Samarkand To Norway, (BBC London 1995)
[ii] - Muhammad Amir Rana, A to Z Jehadi Organization in Pakistan, (Lahore: Mashal Books 2004), PP. 169-70.
[iii] - Murray T. Titus, Islam in India and Pakistan, (Karachi: Royal Book Company 1990), P.127.
[iv] - Lihat, “Brelvi” dalam “The Oxford Enc. Of the Modern Islamic World, (ed. In Chief) John L. Esposito, Vol. 1, (Oxford University Press 1995).

Thursday, September 13, 2007

Alat Masak / Makanan

Indonesia Urdu
Pisau = Chaqu/Churi
Air = Pani
Gula = Chini
Garam = Namak
Cabe = Murch
Bumbu = Masala
Minyak masak = Ghi/Til
Lada hitam = Kali murch
Kentang = Alu
Bawang merah =Pyas
Bawang putih = Lehsan
Tomat = Tomater
Jahe = Adrak
Limau tipis = Lemon
Sayur-sayuran = Sabzia
Terung = Bengan
Wartel = Gajer
Labu air = Kadu
Kacang tanah = Mungphali
Kacang kuda = Cana
Kacang pis = Mater
Kelapa = Naariel
Kol = Gobhi
Bungga kol = Phul gobhi
Mentimun = Khirra
Keladi = Arri
Cuka = Sirkah
Mentega = Mak-han
Keju = Panir
Bubur = Dalia
Telur = Anda
Telur rebus = Ubla howa anda
Daging = Gosh
Ikan = Michli
Ayam = Murghi
Udang = Jhinga
Susu = Dut
Beras = Kaca cawel
Nasi = Cawel
Lauk = Salen
Kuah = Syurba
Madu = Syehed
Krim susu = Balai
Kue manis = Methai
Roti = Roti

Thursday, August 30, 2007

Peralatan Rumah

Indonesia Urdu

Rumah = Ghar
Kamar = Kamrah
Kamar tidur = Sone ka kamra
Kamar mandi = Ghusl khana
Ranjang = Carpai
Bantal = Takya
Kasur = Gada
Cadar = Cadar
Selimut = Kambel
Kursi = Kursi
Meja = Mez
Sofa = Sofa
Pintu = Darwaza
Dapur = Culha
Jendela = K-hirrki
Tirai = Parda
Lampu = Balop
Mainan = Kelone
Gombok = Tala
Kunci = Cabi
Korek = Maacis
Piring = Pliett
Sendok = Camac
Garpu = Kanta
Gelas = Gelas
Jug = Jug
Cangkir = Piala
Mangkuk = Piala
Api = Sya’la/Aak
Obat nyamuk = Macher mardawa
Sampah = Kurra
Tong sampah = Kurra-dan
Setrika = Istri
Tali = Rasi
Kotak = Dabba
Payung = Chatri
Gambar = Taswir
Mesin cuci = Duhone kamisyin
Gunting = Qinci
Jarum = Sue
Senapang = Banduq
Penyapu = Jharru
Gergaji = Ari
Paku = Kil
Lilin = Mambati
Kipas = Pank-ha
Tangga = Sitirrhi
Lantai = Farsy
Laci = Daraz
Peti = Kerett
Kulkas = Prij
Penukul = Hathorra
Minyak tanah = Matti ka til
Sumur = Kanwa

Wednesday, August 1, 2007

Authobiografi Maulana Maudoodi


Oleh
Sayyed Vali Reza Nasr
Department of Political Science
University of San Diego, California

Alih Bahasa
Abdul Kholiq Saman


Maulana Sayyed Abul ‘Ala Maudoodi1, pendiri Jama’at-I-Islami (Partai Islam)2 merupakan sosok yang paling berpengaruh dan produktif dalam kebangkitan semula pemikir-pemikir muslim kontemporer3. Ide-idenya yang besar sangat mempengaruhi terhadap kebangkit Islam dari Malaysia sampai ke Marokko. Dampak tulisanya yang berhubungan dengan Islam juga sangat jelas mempengaruhi cara berfikir dan aksi kebangkitan Islam di dunia Arab, Iran, Asia Tengah dan negara-negara di Asia Tenggara4. Pada hakikatnya bisa dikatakan bahwa Maudoodi adalah salah seorang diantara arkitek-arkitek kebangkitan Islam kontemporer, walaupun beliau bukan sebagai central figur dari kebangkitan tersebut.

Tulisan-tulisanya yang produktif tidak hanya membuat beliau terkenal sebagai pelopor kebangkitan pemikiran Islam dizamanya, akan tetapi juga menegaskan posisinya sebagai kekuatan terpenting dalam tradisi keilmuan agama. Tafsir “Tafhim-ul-Quran” (Understanding the Quran) yang beliau mulai tulis pada tahun 1942 dan selesai pada tahun 1972, merupakan salah satu tafsir dalam bahasa Urdu (Bahasa resmi Pakistan, pent) yang paling banyak dibaca pada hari ini. Ditulis dengan bahasa yang sangat mudah untuk difahami oleh orang banyak. Tafhi-ul-Quran mendukung atas kebangkitan penterjemahan teks Al-Quran lainnya, ianya juga mendapat tempat di antara para ilmuan-ilmuan Islam klasik di Asia Selatan. Dalam kebanyakan tulisanya, Maudoodi mengelaborasi pandangannya terhadap agama, sosial, ekonomi dan politik. Gabungan semua ini secara logis dan sistematik dalam mentafsirkan Islam adalah salah satu tujuan dalam memobilisasi orang-orang muslim terhadap aksi politik.

Dalam perspektif ideologi, Maudoodi merupakan salah seorang pendorong dan orang yang berbicara panjang lebar tentang artikulasi posisi kebangkitan, mempengaruhi terhadap terbukanya kran-kran kebangkitan di dunia Islam lainnya. Para ahli pemikiran di dunia Islam dimana saja berada baik di Iran, Mesir, Sudan dan Afrika Utara turut andil dalam kontribusi besar terhadap kebangkitan Islam, dan juga menjadi sebab dalam mempromosikan ideologi. Konstribusi Maudoodi sendiri terhadap kebangkitan umat Islam sampai hari ini sangat signifikan, karena Maudoodilah yang membangun kerangka ideologi kebangkitan disemua agenda politik. Walaupun dalam prakteknya disemua negara – hasil pemikiran tadi – sangat berbeda. Beliau menata parameter kebangkitan sebuah negara dan masyrakat melalui pidato dan tulisan, serta memberi ide-ide yang jelas dengan penuh semangat kepada revivalist lainnya. Konsep “Ideologi Islam”, “Revolusi Islam”, “Recontraction of the prophetic Comunity, dan “An Islamic Organization Solution” dan semua yang berhubung erat dengan kebangkitan Islam hari ini, beliaulah orang yang pertama memperkenalkan dan mendefinisikan konsep itu. Telah bertahun-tahun kebangkitan Islam berkembang dengan berbagai cara dan jalan yang ditempuh, ternyata karya Maudoodi masih relevan untuk dijadikan bahan rujukan bagi generasi kebangkitan akan datang. Oleh karena itu, agar lebih memahami sifat dasar tentang kebangkitan Islam – yang diperkenalkan oleh Maudoodi – sangat penting untuk diketahui bagaimana dan kenapa Maudoodi membangun ide, konsep dan model organisasi politik serta tindak-tanduknya. Pada hakikatnya, ini semua dapat difahami dihalaman-halaman berikut. Segala bentuk definisi yang digunakan oleh pergerakan kebangkitan Islam hari ini bisa di fahami melalui konteks yang pertama kali di bentuk oleh Maudoodi.

Karya-karya Maudoodi yang berbicara tentang Islam dipaparkan dalam bahasa yang penuh dengan kesejukan, peperangan antara Islam dan Kufur – Barat dan kebudayaan Muslim di India – merupakan salah satu sentral kekuatan sejarah dalam kemajuan masyarakat muslim di India. Perjuangan ini mendesak Maudoodi untuk mendirikan sebuah negara Islam untuk mengawasi perbaikan masyarakat dalam skala besar dan juga untuk mencapai kekuatan masyarakat itu sendiri. Akhirnya Maudoodi menginterprestasikan Islam sebagai mobilisasi keyakinan yang harus diikutsertakan dalam semua aksi politik. Artinya, Islam harus di pandang sebagai satu sistem kepercayaan yang mengabungkan antara kebaikan dengan kepatuhan yang kuat terhadap kehendak Allah dalam segala tingkah laku dan kepercayaan. Ianya harus mempunyai kekuatan dan tujuan dalam membangun kebaikan-kebaikan dalam masyarakat dan politik. Maudoodi memperkenalkan beberapa istilah Islam, diantaranya: Ketuhanan (Ilah), Tuhan (Rabb), Ibadah (Worship), Agama (Religion) sebagai kunci. Kemudian mentafsirkannya serta memaparkan relasi antara satu dengan lainnya. Seperti aksi sosial yang menjadi tujuan akhir dari proses kebaikan dan juga Islam sendiri menjadikan roda dalam setiap aksi-aksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Meskipun sudah bertahun-tahun aktivitasnya berjalan, disebarkan melalui karya-karyanya yang berhubungan dengan Islam serta polemiknya terhadap revolusi Islam, pendekatan politik Maudoodi masih jauh dari realita revolusi yang sebenarnya. Beliau terus dan menyakini bahwa perubahan sosial dalam masyarakat tidak akan berhasil dicapai melalui pengulingan penguasa politik dengan kekerasan, akan tetapi perubahan itu akan bisa dicapai dengan merubah cara berfikirnya para elit politik dan memulai memperbaiki orang-orang yang mempunyai kekuasaan. Maudoodi menerangkan lebih lanjut, revolusi Islam merupakan salah satu dari proses Islamisasi negara dari dalam. Oleh karena itu, beliau dengan aktif menolak kekerasan dalam mempromosikan Islam, dan sekali lagi beliau menegaskan bahwa negara Islam yang ideal merupakan sebuah negara yang menerapkan demokrasi, “theodemocracy” atau “Democratic caliphate” secara tepat.

Pendidikan harus mampu menjadi agen dalam setiap proses revolusi yang ada. Melalui pendidikan akan lahir sebuah masyarakat yang pintar dan cemerlang. Para elit politik dan para intelektualnya akan mempunyai pemahaman yang jelas terhadap agama mereka sendiri. Perubahan mereka akan memberi dampak sangat positif terhadap pendidikan masyarakat juga membangun kerangka pemerintahan dan semua institusi sosial yang dipengaruhi oleh pandangan Islam. Perubahan ditubuh para elit politik merupakan revolusi terhadap masyarakat yang akhirnya akan melahirkan negara dan masyrakat Islam yang ideal.

Mengenai hal ini, posisi Maudoodi sangat jelas melalui politik Jama’at-i-Islami. Partai ini, setelah berdirinya negara pakistan bergabung dengan proses perpolitikan yang bertujuan untuk membentuk sebuah pemerintahan dan mulai menyebarkan sayapnya dikalangan pelajar, birokrasi dan para guru, sepenuhnya mengharapkan untuk melihat revolusi dari kalangan atasan bisa diujudkan. Pendekatan yang Maudoodi lakukan berbeda dengan visi Ayatullah Khomaini dalam revolusi Islam, walaupun hingga kini Jama’at-i-Islami masih gagal untuk merebut kekuasan di Pakistan, akan tetapi Maudoodi telah berhasil dalam memberi contoh terhadap sebuah kebangkitan Islam dalam setiap aksi sosial. Hal ini dapat dibuktikan dari partisipasi partai-partai Islam dalam proses pemilihan umum (election) dari Algeria sampai ke Malaysia, yang menjadi hal penting dalam mempertajam sikap politik dikalangan partai-partai kebangkitan di dunia Islam.


#####


Pandangan-pandangan Maudoodi tetang perpolitikan dunia mulai menajam ketika terjadinya komplik dan huru-hara dalam kehidupan orang-orang muslim India. Penjajah British yang sejak kedatangan mereka membuat orang-orang muslim menghadapi berbagai kesulitan dalam memilih antara politik komunis dan menuntut untuk merdeka dan aliansi nasionalis sekuler yang diketuai oleh Partai Kongres. Perubahan bentuk kehidupan dan perpolitikan orang-orang muslim membuat cara berfikirnya Maudoodi semakain tajam, dan terkenal sebagi seorang revivalist yang menterjemahkan Islam. Riwayat hidup beliau memberi keterangan yang lengkap terhadap faktor-faktor yang telah beliau perankan dan memberi peluang kepada pelajar Islam kontemporer untuk memahami sifat hubungan antara perubahan sociopolitik dan perubahan ideologisasi kepercayaan dalam dunia Islam.

Biografi ini ditulis pada tahun 1932 oleh teman Maudoodi, Sayyed Manzar Ali yang dihimpun dalam bukunya Tazkirah (koleksi riwayat hidup) Muslim Hyderabad, Daccan. Tahun 1932 adalah tahun kritikal bagi kehidupan Maudoodi, dimana pada tahun tersebut beliau mulai menerbitkan hasil fikiranya melalui jurnal “Tarjuman Al-Quran” yang membahas tentang kebangkitan Islam, sosial dan tanggungjawab politik bagi orang muslim. Oleh karena itu, biografi ini ditulis dalam masa waktu kritikal bagi kehidupan beliau dan memfokuskan terhadap pokok-pokok kehidupan beliau yang beliau sendiri menggangap penting transformasi intelektual kepada seorang revivalist.

Biografi yang ringkas dan tanpa mengetahui sebab tidak sempurnanya, tetapi jelas serta penuh dengan kejujuran. Dan yang menarik lagi ianya ditulis dengan gaya bahasa Tazkirah orang muslim yang berbeda dengan biografi revivalist lainya. Aspek yang menarik dari biografi ini adalah bahwa Maudoodi menekankan kebudayaan Indo-Muslim seperti pentingnya silsilah keturunan, menghargai kebudayaan Sharif (tokoh agama), dan pertalian dengan para sufi – yang membawa nasib baik kepada Maudoodi, akan tetapi silsilah tersebut tidak menjadi identitas beliau sebagai seorang revivalist dan seperti yang terjadi di Jama’at-i-Islami. Para revivalist lain secara terbuka meragukan bahkan mengejek dan menghina terhadap silsilah Maudoodi yang dianggap tidak autentik bahkan ada kesan dibuat-buat. Oleh karena itu, biografi Maudoodi memperlihatkan hubungan lansung antara Maudoodi dengan Sharif, warisan sufi dan visi kebangkitan beliau terhadap Islam, yang tidak gunanya untuk ditambah. Risalah ringkas ini juga sepintas lalu menerangkan karakter-karakter kerja Maudoodi yang merupakan refleksi dari dedikasi beliau terhadap karya-karya atau reaksi yang beliau hadapi selama masih hidup.

Biografi ini pertama kali terbit pada tahun 1955, dan juga oleh Muhammad yusuf Buhtah, yang menyiapkan satu volume setelah meninggalnya Maudoodi pada tahun 1979. Biografi ini terbit dengan judul “Khud Niwisht” (Riwayat hidup) cetakan pertama dicetak oleh Maktabah-i-al-Habib, dan cetakan kedua oleh percetakan Buhtah dengan judul: Maulana Maudoodi: Apni Awr Dusrun ki Nazar Main (Maulana Maudoodi: menurut beliau sendiri dan pandangan orang lain) pada tahun 1980 terjemahan ini mengikuti cerita Maulana Maudoodi sendiri dan tanpa ada tambahan dari penulis.


#####

Saya (Maudoodi, Pent) berasal dari sebuah keluarga yang memberi nasehat-nasehat spiritual kepada orang-orang muslim (irshad-u hidayah), yang hidup dalam kesederhanaan (faqr-u darwishi) selama 1300 tahun. Keturunan sayyid dari ahlil bayt banyak yang tinggal di sekitar Herat (kini dalam wilayah Afghanistan, Pent) yang setelah itu dikenal dengan sebutan Chisht. Abu Ahmad Abdal Chishti (wafat 355/965), adalah salah seorang yang terkenal dari kalangan keluarga ini, yang merupakan keturunan dari Imam Hasan ibn Ali Radhia Allah ‘Anhuma. Beliau juga terkenal dengan pendiri Tariqah Sufi Chishtiyyah. Nasir al-Din Abu Yusuf Chishti (wafat 459/1066) merupakan keturunan dari Abu Ahmad melalui anak perempuanya dan akhirnya menjadi mursyid Tariqah, yang berasal dari keturunan saadat (tunggal: Sayyid). Keturunannya kembali ke Imam Ali Naqi, dan berakhir silsilahnya ke Imam Husain Radhia Allah ‘Anhu. Khawaja Qutb al-Din Maudood Chishti (wafat 527/1132) adalah anak tertua Nasir al-Din, yang merupakan shaikh al-shuyukh dari semua Tariqah Chishti di India, dan keluarga Maudoodi berasal dari ketutunan beliau.

“Khwaja Mu’in al-Din Ajmiri ibn Uthman Harwani ibn
Jami Sharif Zindani ibn Khwaja Qutb al-Din Maudood.
Saya berasal dari keturunan keluarga Maudoodiyyah”

Keturunan keluarga Maudoodiyyah yang saya sendiri berasal darinya hijrah ke India dalam kurun kesembilan (sekitar kurun 15-16) pemimpin pertama mereka ketika hijrah ke India bernama Abul ‘Ala Maudoodi (wafat 932/1528){senama dengan Maudoodi}. Beliau datang ke India dari Chishti ketika pemerintahan Iskandar Lodhi (894-923/1489-1517) dan bertempat di kota Biras dekat Kirnal. Ketika pemerintahan Mongol Shah Alam (1173-1221/1760-1806) Keluarga Maudoodiyyah pindah ke Delhi. Sejak itu lima generasi dari famili tersebut tinggal di Delhi, dan generasi yang ke enam sekarang tinggal dibumi terpencil.

Keluarga sebelah ibu saya berasal dari keturunan Turki. Kakek sebelah ibu saya Mirza Qurban Ali Baig Khan Salik seorang penyair dan penulis. Dan keturunan beliau berkecimpung dibidang ketentaraan. Diantara kakek-kakek saya, Mirza Tulak hijrah dari Transoxania ke India pada zaman pemerintahan Awrangzaib (1068-1118/1658-1707) dan diberi kedudukan dalam ketentaraan. Sampai waktu raja Shah Alam memerintah keluarganya masih bekerja di istana. Sejak sistem kerajaan ditiadakan semua yang berada di istana raja diberhentikan dari pekerjaan mereka. Orang tua Salik, Nawwab Alam Baig Khan dan paman Nawwab Niyaz Bahadur datang ke Hyderabad. Waktu itu hari-hari terakhir bagi pemerintahan Mir Nizam Ali Khan. Di Hydarabad Niyaz Bahadur Khan menikahkan anak perempuan Nawwab Mustaqill Jang Izzat Al-Dawlah Ashur Baig Khan yang mempunyai hubungan lansung dengan paman saya melalui keturunannya. Pemerintah Asifiyyah mengganugerahkan kepada beliau titel (gelar) yang sama dan gelar kehormatan yang sebelumnya dianugerahkan oleh Mughol kepada keturunan-keturunan mereka. Niyaz Bahadur Khan mengantikan Ashur Baig sebagai Jagirnya (gelar turun-temurun) dan sebagai ketua penduduk setempat.

Alam Baig Khan, sementara itu menikahkan keluarga Abdul Rahim Khan, qil’ahdar (komander tentara) di Gulkondah. Dari perkawinan ini (Ali Baig Khan) Salik lahir. Pada tahun 1822 Nawwab Niyaz Bahadur Khan menjadi korban (meninggal) di Chanchilgurah dalam suatu pertempuran. Pertempuran ini dicatat panjang lebar dalam sejarah Deccan. Ada sebuah anekdot yang menarik tentang meninggalnya (Nawwab Niyaz Bahadur Khan) seperti berikut: “Dari pedang Shamshir Khan berakhirnya riwayat hidup Niyaz Bahadur Khan, dan dari pedang Niyaz Bahadur Khan berakhirnya riwayat Shamshir Khan”. Setelah musibah ini Alam Baig Khan membawa anaknya yang paling kecil (Mirza Salik) ke Delhi. Kemudian setelah empat puluh tahun berlalu Mirza Salik kembali ke Hyderabad dan diangkat oleh Salar Jang Alam sebagai kepala departemen pendidikan. Dibawah pelindung Nawwab Imad Al-Daulah Bilgrami mereka mulai menerbitkan Journal dengan judul Makhzan al-Fawaid. Walaupun bukan termasuk journal akademika yang tertua di Hyderabad, tetapi ianya termasuk journal yang pertama dan memainkan peranan sangat penting dalam pendidikan. Pada tahun 1854 Salik meninggal dunia dan dikebumikan di tanah kelahiranya.

#####


Arwah ayah saya, Maulawi Sayyed Ahmad Hasan dilahirkan dua tahun sebelum terjadi pemberontakan di Delhi pada tahun 1857. Beliau termasuk generasi pertama yang belajar di Madrasatul Ulum Aligarh. Sekolah ini dibangun oleh Arwah Sir Sayyid Ahmad Khan (wafat 1898), dan menyeleksi anak-anak dari kalangan keluarganya sendiri dan orang-orang yang berasal dari daerahnya untuk disekolahkan di Aligarh. Secara kebetulan kakek sebelah ibu saya satu daerah dengan Sir Sayyed Ahmad Khan, maka ayah saya termasuk orang yang terpilih untuk belajar di Aligarh. Di Aligarh ayah saya satu kelas dengan Sir Muhammad Rafiq dan Sir Buland Jang. Sejak waktu itu, sudah menjadi rahasia umum, orang-orang muslim tidak menyenangi pendidikan dan kebudayaan yang dibawa oleh British. Pengaruh tersebut sangat jelas terhadap keluarga saya. Keluarga saya tidak cuma orang-orang yang mengerti tentang agama, akan tetapi juga termasuk dalam kalangan ulama’ dalam masyarakat. Kakek saya tidak begitu senang dengan pendidikan yang diterapkan di Aligarh tempat ayah saya belajar, akan tetapi karena beliau menghormati Sir Sayyid Ahmad Khan maka kakek saya menyetujui hal tersebut.

Suatu hari ada seorang dari daerah saya datang ke Aligarh dan disana beliau melihat ayah saya sedang main kriket. Orang tersebut terkejut, melihat anak seorang sufi (pir) memakai pakaian British dan bermain dengan permainan orang British. Setelah kembalinya dari Delhi, orang tersebut memberi tahu kepada kakek saya tentang apa yang beliau lihat di Aligarh.

Wahai Saudaraku!
Cuci tangan kamu dari Ahmad Hasan (ayah Maulana Maudoodi, pent).
Saya melihat dia di Aligarh memakai pakaian orang kafir dan main kriket.

Mendengar berita tersebut, kakek saya hilang kesabaranya dan lansung memanggil ayah saya dari Aligarh. Akibatnya ayah saya tidak sempat menyelesaikan studinya di Aligarh. Berikutnya beliau sekolah di Allahabad dan menyelesaikan sekolahnya dalam jurusan perundang-undangan.

Sejak itu, ayah saya pergi ke Deogarh dan diangkat menjadi tutor putra mahkota. Kisah tetang pelantikan itu sangat menarik sekali. Raja Deogarh memanggil dua orang yang ingin dijadikan tutor dari Delhi dan akan memilih salah satu yang terbaik diantaranya sebagai pendidik anak raja. Satu dari keduanya adalah ayah saya dan satu lagi adalah mantan dosen ayah saya. Setelah sampai di Istana Deograh ayah saya baru mengetahui bahwa mantan dosen beliau juga diundang oleh Raja. Beliau lansung mengirim berita kepada Raja, bahwa dia tidak sanggup bertanding dengan mantan dosennya dan mohon izin untuk kembali ke Delhi. Disatu sisi, mantan dosennya merespon dan berkata “Dia adalah mantan murid saya dan juga masih kecil, bagaimana dia bisa mengajar seperti saya”. Melihat dari kedua karakter tersebut, Raja berkata “Kita tidak butuh profesor. Akan tetapi kita lebih suka muridnya”. Lalu ayah saya tinggal beberapa tahun di Deograh sampai putra mahkota meninggal dalam satu komplotan. Ayah saya sangat terkejut dengan hal tersebut lalu berhenti dari pekerjaanya dan meninggalkan Deograh.

Dalam beberapa tahun beliau bekerja sebagai pengacara di Meerut, Ghaziabad dan Bulandshahr. Pada tahun 1896 beliau pergi ke Awrangabad untuk membela sebuah permasalahan (case). Maulawi Muhyiddin Khan adalah ketua hakim di Awrangabad dan mempunyai hubungan dengan ayah saya dari pihak sebelah ayah pamannya. Atas nasehat beliau ayah saya meneruskan karirnya di sana dan beliau sukses dalam beberapa bulan saja. Sejak hari-hari tersebut ayah saya sangat terpengaruh dengan ide-ide dan gaya hidup orang British. Kepingan keagamaanya mulai ditutupi oleh abu-abu kemoderenan. Dengan perlahan-lahan Maulawi Muhyiddin memberi nasehat dan mengikis semua bekas kebudayaan barat dari kehidupan beliau, dan Islam menjadi dominan dalam kehidupanya. Pada tahun 1318/1900 ayah saya berbai’ah (berjanji) dengan Maulawi Muhyiddin secara spiritual dan ajaran-ajaran sufi. Sejak itu kehidupannya selalu beribadah, menunaikan perintah-perintah agama dan karirnya semakin menurun.

Dalam beberapa tahun beliau mempraktekkan kehidupan para sufi dan hidup dalam kezuhudan. Pada tahun 1904, ketika saya baru berumur satu tahun, ayah saya menghadapi kesulitan dan ujian. Beliau tidak hanya berhenti dari pengacara, akan tetapi juga menyuci tangannya dari keduniaan. Beliau menjual semua peralatan rumah dan kami pindah ke Delhi. Disana kami tinggal di Arab Sara’i, sebuah kampung dekat makam Nizam-al-Din Uliya. Disana beliau tumpukan segala kehidupanya dengan masalah-masalah agama. Kami hidup dalam keadaan seperti ini sekitar tiga tahun. Selepas itu Maulawi Muhyiddin memanggil ayah saya ke Awrangabad dan menasehati beliau, “Untuk kembali kepada Allah adalah tidak patut meninggalkan dunia, hanya untuk menghasilkan sepotong roti dengan cara tawakkal”.

Setelah mendengar nasehat ini ayah saya mulai lagi berkerja sebagai pengacara, dan bertekat untuk tidak membela sebuah permasalahan dengan berbohong. Beliau terlebih dahulu mengkaji semua case (permasalahan) dan bersedia untuk membela di mahkamah setelah memahami bahwa yang dibela benar-benar berada dipihak yang benar.5 Beliau puas dengan perkerjaanya, tetapi bingung dan bingung dengan permasalahan keuangan keluarga yang semakin susah. Cara berfikir, gaya hidup dan ide-ide ayah saya banyak berubah, mungkin sepintas orang akan menyangka bahwa ayah saya terpengaruh dengan cara orang-orang British.

Beliau masih menjadi pengacara di Awrangabad sampai tahun 1915, kemudian pindah ke Hyderabad. Berselang beberapa bulan disana beliau jatuh sakit dan pindah ke Bhopal tempat abang saya yang berkerja sebagai pegawai eksekutif. Di Bhopal ayah saya mengalami penyakit stroke yang menyebabkan beliau menjadi lumpuh. Beliau terbaring ditempat tidur selama empat tahun dan meninggal dunia pada tahun 1920.

Saya lahir pada 3 Rajab 1321 H /December 1903 di Awrangabad. Tiga sampai empat tahun sebelum saya lahir seorang yang alim memberi tahu kepada ayah saya tentang kelahiran saya dan memberi pesan agar ketika saya lahir nanti diberi nama Abu al-‘Ala, karena nama ini amat masyhur dalam keluarga kami dikalangan muslim India. Ketika saya lahir ayah saya memberi nama kepada saya Abu al-‘Ala mengingati pesan yang telah diterimanaya sebelum saya lahir. Setelah satu tahun dari kelahiran saya, ayah saya meninggalkan kehidupan dunia dan memilih untuk menyendiri dari kesibukan dunia selama lebih kurang tiga tahun. Walaupun setelah itu kembali kedunia nyata yang sangat berbeda dengan kehidupan beliau sebelum menyendiri, beliau menjadi sangat taat dalam beragama. Hasil dari perubahan total dalam kehidupan beliau, di waktu yang sama saya mulai membuka mata dan tumbuh dalam lingkungan doktrin keagamaan yang kuat. Kehidupan ayah dan ibu saya sangat jelas sekali dengan berpandukan kehidupan agama yang benar. Contoh dan tarbiyah yang diberikan menjadikan kami teguh beragama dan bergairah untuk mempelajarinya.

Pada awalnya ayah saya mempunyai cita-cita untuk menjadikan saya sebagai seorang Maulawi (‘Ulama) dan mulai mendidik saya dengan objektif tersebut. Disamping belajar bahasa Urdu dan Parsia, saya juga belajar Bahasa Arab, Fiqh dan Hadist. Beliau tidak mengizinkan saya untuk belajar Bahasa Inggris dan pemikiran-pemikiran dari Barat. Dalam mendidik beliau sangat menekankan kepada etika dan peningkatan akhlak kami. Dalam masa waktu tertentu, saya cuma belajar dirumah dan tidak mengikuti sekolah formal. Dan dalam waktu kosong biasanya saya gunakan untuk belajar secara autodidak.

Dimalam hari sebelum tidur saya mendengar kisah-kisah pahlawan Islam dan beberapa kisah lain dari sejarah umat Islam terdahulu. Kisah-kisah yang menarik ini membuat saya semakin bergairah untuk mempelajari agama ini lebih mendalam lagi. Sampai aktifitas disetiap hari saya tumpukan kepada belajar dan meningkatkan diri, terutama latihan berbicara didepan teman-teman dengan mengunakan bahasa yang baik. Selama saya tinggal di Deccan lebih kurang duapuluh tahun saya tidak mengunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari, tetapi selalu mengunakan bahasa Urdu yang benar (pure Urdu). Mengunakan bahasa yang baik dalam percakapan adalah suatu hal yang sangat ditekankan dalam keluarga kami. Terus kadang-kadang kami tidak dibenarkan untuk bermain dengan anak-anak setempat. Tapi masih juga, jika ayah saya mendengar ada dikalangan kami salah dalam mengungkapkan kata-kata atau ejaan yang salah sertamerta beliau membenarkan kesalahan tersebut.

Saya belajar dirumah sampai umur sembilan tahun, dalam masa tersebut saya belajar Nahu dan Sorf (tata bahasa Arab), literatur dan pengenalan buku-buku fiqh. Tutor saya Almarhum Maulawi Nadimullah Husyni mendaftarkan saya di Madrasah Fawqaniyyah Rushdiyyah di Awrangabad. Selang beberapa bulan setelah saya belajar, ujian dilaksanakan. Saya ikut dalam ujian tetapi saya tidak lulus. Saya kurang berminat dengan mata pelajaran Matematika yang saya pelajari dalam tempo enam bulan. Tetapi saya tidak lemah dalam mata pelajaran yang lainnya. Namun demikian, kepala sekolah Mulla Dawud sangat bermurah hati dengan saya, meskipun saya gagal dalam ujian beliau masih menerima saya sebagai murid dibagian Maulawi. Disana saya diperkenalkan pertama kali dengan ilmu-ilmu moderen. Walaupun bahasa pengantar dalam bahasa Urdu, namun saya merasa senang dengan pelajaran fisika, biology, matematika, sejarah dan ilmu-ilmu lainnya. Selama masa belajar tersebut, tiap-tiap guru memiliki pengaruh tersendiri bagi diri saya dan begitu juga dengan teman-teman disekolah. Selama saya tinggal dalam lingkungan ini, banyak sekali hal-hal yang baik dan tidak baik dapat saya ambil pelajaran, hal ini membuat saya berhati-hati ketika saya terjun dimasyarakat. Dalam mendidik kami, ayah saya mengajarkan bagaimana membedakan antara yang baik dan tidak baik. Tarbiyah pertama yang saya perolehi dari orang tua sangat melekat dalam benak saya, hal ini yang membuat saya semakin kuat dalam menghadapi berbagai pengaruh dari luar. Manfa’at yang dapat saya ambil dari pentarbiahan tersebut adalah ketika umur saya menginjak 15 tahun, saya ditakdirkan untuk tinggal jauh dari keluarga dan hidup tanpa ada pengawasan, umur semuda ini biasanya cenderung untuk melakukan hal-hal yang tidak baik.

Pada tahun 1914 saya hampir-hampir tidak lulus dalam ujian Maulawi disebabkan saya lemah dalam mata pelajaran matematika. Dihari-hari tersebut ayah saya juga menghadapi berbagai masalah dengan kesehatannya. Kami meninggalkan Awrangabad menuju Hyderabad. Di Hyderabad saya masuk sekolah Darul Ulum dalam bidang yang sama (Maulawi section). Maulana Hamid al-Din Farahi (wafat 1930) sebagai kepala sekolah ketika itu.6 Setelah itu ayah saya pindah lagi ke Bhopal dan saya tetap meneruskan pendidikan saya di Hyderabad. Tapi setelah 6 bulan berlalu saya mendapat berita dari Bhopal yang mengabarkan bahwa ayah saya dalam keadaan sakit parah. Mendengar berita tersebut saya jadi bingung dan memutuskan untuk pergi ke Bhopal dengan ibu saya untuk menjengok ayah saya. Tapi Allah menghendaki lain, ayah saya meninggal dunia. Saya mulai merasa kepahitan-kepahitan dalam ralita kehidupan. Selama dua tahun setengah lamanya saya harus menjalankan kehidupan ini diatas kaki sendiri, dan pengalaman ini telah mengajar saya arti kehidupan yang sebenarnya.

Saya senang menulis sejak dibangku sekolah lagi. Suatu hari, kenalan saya Niyaz Fatihpuri menganjurkan kepada saya untuk mengajar tulis menulis. Tapi saya kurang berminat untuk itu dan saya memilih pena (baca: tulisan) sebagai mata pencarian.

Pada tahun 1918 abang saya Abu al-Khayr seorang wartawan dan berkerja sebagai editor majalah Madinah di Bijnur. Saya pergi menghadap beliau dan berkerja dengannya. Tapi setelah lebih kurang dalam dua bulan kami tidak dapat meneruskan usaha kami dan kembali ke Delhi. Dihari-hari tersebut perpolitikan India dalam keadaan kacau. Bagi saya, pemikiran yang bebas, bacaan dan analisa saya serta pengalaman-pengalaman dari kejadian-kejadian dalam keluarga dan sekeliling membuat saya menolak Westernisasi dan campur tangan barat. Dari itu, saya siap menerima pergerakan kemerdekaan (independence movement), khususnya yang mempunyai misi agama. Kami mulai membangun “Anjuman-i I’anat-i Nazarbandan-i Islam” (organisasi untuk membantu tahanan orang muslim). Ketika pergerakan Khilafah berdiri pada tahun 1919, saya juga ikut menjadi anggotanya.7 Dalam hari-hari tersebut saya juga menulis buku tentang riwayat hidup Mahatma gandhi (beliau juga mendukung Pergerakan Khilafah), tapi salah seorang dari kampung saya mengadu hal tersebut kepihak kepolisian dan buku saya disita. Setelah itu kami bertemu dengan seorang pemberani yang berasal dari Central Provinces. Beliau sebagai pelindung“Anjuman-i I’anat-i Nazarbandan-i Islam” namanya Taj al-Din, beliau juga aktif menulis dan editor majalah mingguan Taj dari Jabalpur. Masa itu adalah masa yang sangat sulit bagi pembisnis berita. Kami hanya mampu berkerja dengan Taj dalam beberapa bulan saja setelah itu meninggalkan Jabalpur, pertama ke Bhopal dan selanjutnya ke Delhi.

Jurnalis memaksa saya untuk belajar bahasa Inggris. Saya bernasib baik bisa bertemu dengan tutor Maulana Muhammad Fazil. Saya belajar buku-buka dasar bahasa Inggris dengan beliau dalam empat sampai lima bulan. Setelah itu saya tidak lagi memakai tutor dan belajar sendiri dengan cara membaca koran, artikel dan buku-buku, hal ini saya praktekan selama lebih kurang dalam dua tahun. Pada awalnya saya kurang faham, tetapi saya terus berusaha dengan gigih untuk memahami semua jenis teks dengan bantuan kamus, sehingga arti (ma’na) dari semua perkataan dan cara mengunakannya dapat saya fahami dengan baik. Dengan bahasa Inggris saya bisa mempelajari sejarah, philosofi, ilmu politik, ekonomi, agama, ilmu sosial dan ilmu-ilmu sains lainya dengan mudah.

Sejak itu, propesi saya dan abang saya sama sebagai jurnalis, tetapi pada tahun 1920 kami berbeda jalan. Abang saya meninggalkan jurnalis dan saya menekuninya. Saya kembali ke Jabalpur dan berkerja dengan Taj al-Din editor majalah Taj. Pada awalnya majalah Taj terbit tiap minggu setelah itu berubah menjadi setiap hari. Saya kerja sendirian dan juga membantu Taj al-Din dalam aktivitas politik. Ketika itu Pergerakan Khalifah di Jabalpur baru mulai dan saya salah seorang dari orang muslim yang bergabung dengan Congress (partai) dalam masalah ini. Ketika itu sedikit sekali ahli pidato dikalangan orang muslim, kemudian saya mulai mengisi ceramah walaupun sebenarnya saya tidak layak untuk tugas tersebut.

Setidak-tidaknya, apa yang terjadi di Jabalpur banyak memberi manfa’at kepada saya. Pertama, saya menjadi yakin yang sebelumnya tidak saya miliki. Pada awalnya saya merasa bingung terhadap tanggungjawab yang diberikan kepada saya dan merasa ragu-ragu sebelum menerima tugas. Tapi di Jabalpur tidak ada tempat untuk saya bergantung kecuali terhadap diri sendiri dalam menjalankan semua tugas yang berhubungan dengan orang banyak. Dan saya merasa disana ada kekuatan tersembunyi yang membantu saya disaat saya membutuhkan. Sejak itu, saya tidak pernah menolak dari menerima tanggungjawab. Kedua, saya menjadi orang yang bebas dalam kehidupan saya. Hal ini sangat jelas ketika saya tinggal di Jabalpur yang sebelumnya saya selalu tinggal dengan orang sekampung dengan saya.

Profesi saya sebagai jurnalis di Jabalpur tidak berjalan lama. Malangnya lagi, sebuah artikel tentang kritikan saya terhadap pemerintahan membawa dampak negatif kepada editor dan percetakan majalah Taj al-Din. Hal ini menjadi beban yang berat kepada saya dan saya berjanji kepada diri saya sendiri untuk tidak menekankan tanggungjawab kepada pekerjaan akan tetapi tetap bertanggungjawab kepada hasil tulisan saya.

Pada akhir tahun 1920 saya kembali ke Delhi. Kira-kira pada awal tahun 1921 saya bertemu dengan Maulana Mufti Kifayatullah dan Ahmad Said, Amir dan Sekretaris Jendral Jamiat-i Ulama’ Hindi. Kemudian majalah resmi Jamiat The Muslim diterbitkan dan saya diangkat sebagai editor. Majalah tersebut cuma bisa bertahan sampai tahun 1923.

Antara tahun 1916-1921 adalah tahun yang amat susah yang saya rasakan dalam kehidupan saya dan berpindah-pindah dari satu tempat ketempat yang lain. Oleh itu, saya tidak bisa menjalankan pendidikan saya dengan sempurna. Disamping kesibukan sebagai jurnalis ketika saya tinggal di Delhi tahun 1921, diwaktu luang saya sempatkan diri untuk belajar literatur Arab, tafsir, hadits, fiqh dan mantiq (logic) dari berbagai tutor. Dan bercita-cita untuk mengetahui semua bidang ilmu pengetahuan.

Pada tahun 1923 sekali lagi majalah The Muslim dilarang untuk beredar dipasaran dan saya memutuskan untuk meninggalkan Delhi menuju Hyderabad. Dalam perjalanan saya dideportasi ke Bhopal. Saya belajar lebih kurang setahun setengah di Bhopal dan tidak bekerja apa-apa dan menghasilkan satu atau dua artikel saja. Pada tahun 1924 saya kembali ke Delhi. Disana saya berjumpa dengan Maulana Muhammad Ali. Beliau meminta saya untuk membantu menerbitkan korannya yang bernama Hamdard. Tetapi Maulana Ahmad Said (editor majalah Al-Jami’at) juga meminta saya untuk berkerja dengan beliau. Tapi saya memilih untuk berkerja dengan Al-Jami’at karena sebelumnya saya sudah kenal baik dengan editor majalah tersebut. Dengan pilihan ini saya bisa lebih independen. Dari tahun 1925 ketika Al-Jami’at mulai, dan sampai berhenti penerbitan pada tahun 1928 saya yang bertanggungjawab keatas majalah tersebut.

Dihari-hari tersebut disamping sebagai seorang jurnalis, saya juga belajar subjek-subjek yang lain, seperti Bahasa Arab dan membaca buku-buku lain. Dalam masa ini, saya juga menulis dua buku yang berjudul: Al-Jihad fi al-Islam (Jihad dalam Islam) dan Daulat-i Asifiyyah wa Hukumat-i Britaniyyah (Pemerintahan Asifiyyah dan kekuasan British). Di Delhi saya juga belajar Bahasa Jerman, tetapi tidak sampai selesai karena setelah sebulan setengah belajar tutor saya meninggalkan Delhi. Selama sepuluh tahun tinggal di India secara mental saya mengalami siksaan, khususnya ketika menjadi seorang jurnalis koran Urdu. Maka pada tahun 1928 saya mengundurkan diri dari Al-Jami’at dan memutuskan untuk menumpukan semua waktu kedalam tulis menulis dan mengedit pekerjaan yang saya minati. Pada Desember 1928 saya pergi ke Hyderabad dan tinggal disana sampai Agustus 1930. Diantara tahun tersebut, saya menulis sejarah kerajaan Seljuk dan menterjemah beberapa bab dari buku Ibn Khalkan tentang kerajaan Fatimiyah.

Pada tahun 1930 saya jatuh sakit dan kembali ke Delhi. Saya tinggal disana beberapa bulan sampai kesehatan saya agak membaik. Dari Delhi saya pergi ke Bhopal dan tinggal disana dalam beberapa bulan untuk mengumpulkan bahan-bahan tentang sejarah Deccan. Pada Juli 1931 saya kembali ke Hyderabab dan meneruskan riset tentang sejarah Deccan. Dalam selah-selah waktu tersebut saya juga menyiapkan riwayat hidup Nizam al-Mulk Asifjah dan setelah dicetak kedua buku ini laris dipasaran. Saya juga menterjemahkan buku Al-Asfar al-Arba’ah buah karya Allama Sadr al-Din Shirazi untuk Universitas Usmania, buku ini termasuk salah satu buku dalam bahasa Arab yang paling sulit untuk difahami.8

Menulis artikel dan karang-mengarang menjadi hobby saya sejak umur sembilan tahun lagi. Suatu hari teman dekat saya Ishfaq Ahmad Zahidi, orangnya cerdas dan mempunyai semangat besar dalam tulis menulis datang ke Awrangabad dan tinggal dengan kami untuk beberapa waktu. Abang saya dan saya sangat suka dalam tulis menulis dan senang dengan isu kemasyarakatan dan politik, kami sering membaca koran dan berita lainnya. Suatu hari beliau (Ishfaq Ahmad Zahidi, pent) ingin mencoba kapabilitas kami dengan memberi satu judul untuk dituliskan. Judul tersebut “I had fallen in love with a girl and I was to write her a letter describing my attraction to her and my pains”. Sebenarnya kami tidak siap untuk menulis tema seperti ini. Dan lagi, hidup saya selama ini tidak mendukung hal tersebut, secara mental saya tidak mempunyai kapasitas untuk mencintai dan dicintai. Walupun begitu saya juga pernah membaca syair-syair tentang cinta dalam buku Gulistan dan Bustan.9 Saya percaya bahwa perasaan cinta ketika memandang wajah yang cantik adalah penyakit yang membuat hati semakin bergelora......saya mengelaborasi tulisan saya dengan buah fikiran ini. Tidak seorangpun termasuk juga Ishfaq yang ingat apa yang kami tulis, akan tetapi beliau (Ishfaq) suka denga tulisan saya karena lebih baik dari tulisan abang saya.

Setelah itu, walaupun saya sangat antusias dan punya peluang dalam tulis menulis, tapi hal tersebut sempat berhenti seketika karena ayah saya sangat cemas dengan pembelajaran kami, lalu kebanyakan waktu kami ditumpukan untuk membaca. Jadi, saya banyak membaca buku dalam bahasa Urdu dari berbagai disiplin ilmu serta berbagai jenis literatur.

Pada tahun 1914 saya lulus ujian Maulawi dan abang saya menganjurkan kepada saya untuk menterjemah buku hasil karya Qasim Amin yang berjudul Al-Mar-ah Al-Jadidah (Perempuan Modern, cetakan pertama pada tahun 1899) kedalam bahasa Urdu.10 Allah maha tahu dimana letaknya lembaran-lembaran terjemahan itu berada, tapi yang masih saya ingat adalah ketika saya sodorkan hasil terjemahan itu kepada ayah saya, beliau merasa gembira. Ini adalah karya saya yang pertama. Terus, pada tahun 1917 ketika saya di Bhopal saya mencoba untuk meningkatkan skill dalam tulis menulis disamping saya menambah bacaan dari buku-buku lain. Keinginan untuk menjadi seorang penulis adalah termasuk cita-cita saya sejak kecil lagi. Pada mulanya bentuk tulisan saya banyak dipengaruhi oleh tulisan-tulisan orang lain, tetapi pada tahun 1921 saya sudah memiliki bentuk dan gaya penulisan tersendiri dan tidak meniru dari orang lain.

Saya percaya, setiap pemikiran dan pendapat mempunyai pembendaharaan kata tersendiri dan setiap hasil pemikiran biasanya dituangkan dalam bentuk tulisan dengan jelas dan dengan kalimat-kalimat yang pas. Jadi, saya sangat berhati-hati dalam memilih kata-kata ketika menulis. Hasilnya, saya bisa berhemat dalam tulisan (tidak muluk-muluk, Pent) dan setiap waktu saya berusaha untuk mengumpul informasi dan mengolahnya dengan baik sehingga menjadi sebuah fikiran yang bermanfaat.


Catatan kaki
1 Saya merasa berhutang budi dengan Iqbal Ahmad Khan dan Zafar Ishaq Ansari atas komentar dan saran mereka yang sangat berharga dalam penyusunan draf pertama penterjemahan ini.
2 Jama’at-I-Islami pada mulanya didirikan di India pada tanggal 26 Agustus 1941, setelah berpisah dengan India pada tahun 1947, Jama’at-I-Islami pecah menjadi tiga cabang, Jama’at-I-Islami India, Pakistan dan Jammu dan Kashmir. Walaupun ketiga-tiganya mengikuti ide Maudoodi, tetapi secara organisatoris mereka berbeda dan independen. Pada tahun 1947 Maudoodi terpilih menjadi Amir (ketua) Jama’at-I-Islami Pakistan. Dan pada tahun berikutnya berdiri pula cabang Jama’at-I-Islami di Bangladesh dan Sri Langka. Untuk lebih jelasnya tentang organisasi-organisasi ini silakan lihat: Mumtaz Ahmad “Islamic Fundamentalism in South Asia: The Jama’at-I-Islami and The Tablighi Jama’at” in Martin E. Marty and R. Scott Appleby, eds, Fundamentalism Observed (Chicago: University of Chicago Press, 1991), pp.457-530: Rafiuddin Ahmad, “Redefining Muslim Identity in South Asia: Islamic Fundamentalism in South Asia: The Transformation of the Jama’at-I-Islami, in Martin E. Marty and R. Scott Appleby, eds, Accounting for Fundamentalism: The Dynamic Character of movements (Chicago: University of Chicago Press, 1994), pp. 699-705: Kalim Bahadur, The Jama’at-I-Islami of Pakistan (New Delhi: Chetana Publications, 1977), Violette Graff, “La Jama’at-I-Islami en Inde, in Oliver Carre and Paul Dumont, eds, Radicalismes Islamiques, (Paris: L’Hartmannn, 1986), vol. 2, pp. 59-72: dan Sayyed Vali Reza Nasr, The Vanguard of the Islamic revolution: The Jama’at-I-Islami of Pakistan ( Berkeley: University of California Press, 1994).
3 Beberapa buku dan artikel yang membicarakan tentang ideologi Maulana Maudoodi, seperti: Sheila McDonough, Muslim Ethics and Modernity: A Comparative Study of the Ethics Thought of Sayyed Ahmad Khan and Maulana Maudoodi (Waterloo, Ontario: Wilfred Laurier University Press, 1984); Masudul Hasan, Sayyed Abul A’ala Maudoodi and His Thought, 2 vols (Lahore: Islamic Publications, 1984); Charles J. Adams, The Ideology og Maulana Maudoodi, in Donald E. Smith, ed, South Asian Politics and Religion (Princeston: Princeston University Press, 1966), pp. 371-97; idem, Maulana Maudoodi and the Islamic State, in John L. Esposito, Voices of Resurgent Islam ( New York: Oxfoooord University Press, 1983) pp. 99-133; Khursid Ahmad and Zafar Ishaq Ansari, Maulana Sayyed Abul A’la Maudoodi: An Introduction to His Vision of Islam and Islamic revival, in Khursid Ahmad and Zafar Ishaq Ansari, eds, Islamic Perspectives: Studies In Honour of Maulana Sayyed Abul A’la Maudoodi (Leicester: The Islamic Foundation, 1979), pp. 359-84.
4 Tentang pengaruh Maudoodi terhadap ekspresi Islam kontemporer di Dunia Islam, silakan lihat “Islamic Da;wah in the West: Muslim Missionary Activity and the Dynamics” Larry Poston.
5 Ide Ahmad Hasan (Bapak Maudoodi) ini pada tahun berikutnya memberi pengaruh yang sangat kuat terhadap pandangan Maudoodi dengan system perundang-undangan di sebuah Negara Islam. Dalam karyanya, Maudoodi mengkritik cara perundang-undangan Barat dalam menyelesaikan suatu masalah dengan mendatangkan lawyer, cara ini akan memberi izin kepada orang lain untuk membela kebohongan dalam satu permasalahan. (lihat, Sayyed Abu al-‘Ala Maudoodi, Islamic Law and Consitiutsion, edited Khursid Ahmad, (Karachi: Jamaat-e-Islami Publications).
6 Maulana Farahi adalah alumni Aligarh dan dekat dengan Shibli Nu’mani (1857-1914). Beliau seorang yang alim dalam mentafsirkan Al-Quran dan juga sebagai pelindung Muslim Education. Ide-idenya tentang pendidikan banyak ditelurkan di Universitas Usmania Hyderabad dan Madarasatul Islah Sara’i Mir di Azamgarh. Untuk lebih jelasnya tentang riwayat hidup Farahi dan tafsirnya, lihat Mustansir Mir Choherence in the Qur’an (Indianapolis: American Trust Publication, 1986), hal: 6-7 dan 42-44.
7 Untuk melihat lebih lanjut tentang Pergerakan Khilafah, lihat Gail Minault, The Khilafat Movement: religious Symbolisms and political Mobilization in India (New York: Columbia University Press, 1982).
8 Maudoodi hanya menterjemahkan sebagian saja dari Asfar. Dan penterjemahan tersebut dibawah bimbingan Manazir Ahsan Gilani.
9 Perlu untuk difahami, walaupun kedua buku syair diatas berbicara tentang cinta, tetapi isinya sangat menitik beratkan kepada moral dan etika.
10 Yang menarik dari buku Qasim Amin adalah penulis mengetengahkan argumen-argumen intelektual muslim terhadap perempuan. Yang kemudian hari dibantah oleh Maudoodi.

Nama-nama Anggota Badan

Indonesia = Urdu

ANGGOTA BADAN = JESIM KI A’ZHO

Badan = Jesim
Kepala = Sar
Rambut = Baal
Mata = Aankh
Telinga = Kaan
Mulut = Mu
Dagu = Thurri
Pipi = Gaal
Gigi = Dant
Otak = Dimagh
Punggung = Pitth
Muka = Cehra
Lidah = Zaban
Dahi = Matha/Pesyani
Bibir = Hont
Alis = Bhonwe
Bulu mata = Palke
Hidung = Nak
Bahu = Kandha
Kumis = Munch
Jenggot = Daarhi
Hidung = Naak
Leher = Gardan
Dada = Cathi
Lengan = Bazu
Tangan = Haat
Siku = Kuhni
Jari = Ungli
Kuku = Nakhun
Tulang = Haddi
Sendi = Jurr
Hati = Dil
Paru-paru = Pheprrae
Perut = Me’dah
Kulit = Jild
Darah = Khun
Kaki = Taang
Lutut = Ghuttana
Buku lali = Takhna
Tumit = Erri
Telapak kaki = Tali
Pinggang = Kamar

bersambung.......

Monday, July 30, 2007

Mengenal Jamaat-e-Islami Pakistan

Pendahuluan

Sudah diakui masyarakat Internasional bahwa subcontinent adalah wilayah di Benua Asia yang produktif dan banyak melahirkan tokoh dan cendikia-muslim, baik yang bertaraf Nasional maupun Internasional. Karya dan pemikiran mereka sangat diperhitungkan oleh dunia Timur maupun Barat, karena pengaruhnya sangat besar dalam kebangkitan dunia Islam, khususnya dalam menghadapi tantangan modernisasi dan konsep-konsep sekuler yang didengungkan oleh Barat.

Setelah merdeka pada tanggal 14 Agustus 1947 dari jajahan Inggris, Pakistan merupakan sebuah negara yang diakui oleh masyarakat internasional. Setelah enam tahun merdeka yang tepatnya pada tahun 1953, organisasi-organisai keagamaan mulai tumbuh di Pakistan. Pergerakan yang pertama berdiri setelah merdeka dan sangat berpengaruh ketika itu adalah pergerakan Khatam-e-Nubuwat. Salah satu tujuan berdiri organisasi ini adalah untuk mengcounter pergerakan Ahmadiyah dibawah pimpinan Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku menjadi nabi dan mendapat wahyu lansung dari malaikat Jibril. Tidak hanya sampai disitu pergerakan Khatam-e-Nubuwat juga masuk dalam kancah politik praktis, hal tersebut dibuktikan dengan adanya campaign melawan regim Ayub Khan yang merupakan penguasa pada ketika itu.(1)

Jamaat-e-Islami Pakistan (JIP) yang dideklerasikan pada 65 tahun yang lalu oleh Maulana Maudoodi, merupakan salah satu organisasi yang sangat berpengaruh ditengah komunitas masyarakat Pakistan secara khusus dan masyarakat internasional secara umum.

JIP tidak hanya sebagai sebuah ORMAS, partai politik, atau organisasi Ishlah, akan tetapi ianya merupakan Jama’atun ‘Aqadiyatun (Ideological Party) yang meyakini bahwa Islam adalah agama yang syamil yang mengatur segala urusan manusia di dunia ini. JIP juga meyakini bahwa organisasi ini bukanlah sebuah Organisasi Nasionalisme yang pengaruhnya hanya sebatas masyarakat setempat, akan tetapi ianya merupakan oraganisasi da’wah yang bertujuan untuk meninggikan kalimah Allah dibuka bumi ini.(2)

Dalam makalah ini, penulis ingin memaparkan sedikit sejarah latar belakang berdirinya JIP, riwayat hidup pendirinya, organisasi-organisasi yang berafialiasi dengan JIP buat pengetahuan kita bersama.


Sejarah Singkat Pendiri JIP(3)
Sayyid Abul A'la Maudoodi lahir di Hyderabad, India Selatan pada tanggal 25 September 1903. Beliau lahir dari sebuah keluarga terhormat yang masih mempunyai silsilah keluarga Nabi Muhammad Saw. Ayahnya Ahmad Hasan adalah seorang pengacara dan nenek moyangnya pemimpin gerakan sufi yang terkenal di subcontinent. Maudoodi adalah anak ketiga dari tiga bersaudara.

Setelah mendapatkan pendidikan dasar di rumahnya, Maudoodi melanjutkan pendidikannya di Madrasah Furqoniyah, sebuah sekolah dimana kurikulumnya adalah kombinasi dari ilmu Barat Modern dan pendidikan Islam Tradisional. Kemudian setelah itu beliau meneruskan studi di Darul Ulum, Hyderabad. Pada saat itu ayahnya terserang sakit dan akhirnya meninggal. Hal ini menyebabkan beliau tidak dapat melanjutkan pendidikan formalnya di Darul Ulum. Namun hal itu tidak mematahkan semangatnya untuk menuntut ilmu, Beliau tetap belajar walaupun harus berusaha mendapatkan ilmu sendiri (self-acquired). Disamping itu, beliau juga mendapatkan pelajaran dari guru-gurunya di luar institusi. Penguasaannya akan bahasa Arab, Persia dan Inggris memberikannya kemudahan dalam menguasai ilmu Islam Tradisional dan ilmu Barat Modern. Jadi, perkembangan intelektual Maudoodi adalah merupakan hasil dari self-acquired dan stimulasi yang ia dapatkan dari guru-gurunya diluar institusi.

Maudoodi memulai karirnya dalam kancah intelektual subcontinent disaat usianya masih terbilang muda, yaitu 17 tahun. Ia terpilih menjadi editor koran dan majalah al-Jam'iyat yang merupakan organ dari Jam'iyatu al-Ulama-il-Hindi, sebuah organisasi para cendekia-muslim India. Di bawah pimpinannya al-Jam'iyat mengalami kemajuan yang sangat pesat dimana ia menjadi wadah central para intelektual muslim India dalam menuangkan ide-ide mereka. Maka tidak heran jika al-Jam'iyat menjadi koran muslim terbesar di India ketika itu.

Disamping bergelut dengan pena, Maudoodi juga aktif berjuang di dunia politik. beliau bergabung dengan pergerakan khilafat, sebuah gerakan oposisi melawan Inggris yang pada saat itu berkuasa di India. Tetapi beliau merasa kurang puas dengan management dan kepemimpinan dalam gerakan tersebut. Akhirnya, mengundurkan diri dan lebih memilih untuk berkonsentrasi di dunia akademis dan jurnalistik.

Pada tahun 1933, setelah mengundurkan diri dari al-Jam'iyat, Maudoodi menjadi editor Majalah bulanan "Tarjuman al-Quran" majalah ini menjadi kendaraan dalam menyebarluaskan ide dan pemikirannya di daratan anak benua India. Pada awalnya, beliau hanya mengekspos ide, nilai dan prinsip-prinsip dasar Islam, kemudian berkembang dengan mengangkat permasalahan dan konflik antara Islam dan Barat. Tidak hanya itu, beliau juga berusaha menyuguhkan problematika dunia modern beserta solusinya yang diambil dari sudut pandang Islam. Beliau yakin bahwa al-Quran dan as-Sunnah dapat menjawab tantangan zaman, maka beliau selalu berusaha menyikapi berbagai permasalahan dengan kembali pada pijakan dasar umat Islam, yaitu al-Quran dan as-Sunnah.

Maudoodi tidak hanya mencurahkan seluruh energi yang ada pada dirinya untuk menyebarkan ajaran Islam, tapi juga berusaha mengaplikasikannya dalam realitas kehidupan. Ia selalu menegaskan bahwa Islam bukan semata-mata agama yang berisikan doktrin-doktrin metafisikal ataupun ritual-ritual keagamaan, namun Islam adalah jalan hidup yang mencakup seluruh aktivitas kehidupan manusia. Maka tidak heran jika ia dianggap sebagai figur yang mempunyai sifat ketokohan yang sejati dengan pemikiran-pemikirannya yang mampu menembus batas geografis subcontinent.

Disela-sela kesibukannya dalam dunia tulis menulis, Maudoodi tergelitik untuk kembali menapaki dunia politik. Dengan didukung oleh kematangan intelektual dan kepekaannya terhadap permasalahan nasional dan internasional, ia mendirikan organisasi baru yang diberi nama "Jamaat-l-Islami". Organisasi ini masih tetap eksis hingga kini dan bahkan menjadi salah satu partai politik Islam terkuat di Pakistan.

Dengan keterlibatannya langsung dalam urusan politik, khususnya sejak tahun 1948, Maudoodi harus menerima berbagai siksaan dari elit penguasa Pakistan yang tidak sejalan dengan motif dan tujuan pergerakannya. Bukan hanya itu, pada tahun 1953, Maudoodi berhasil lolos dari tiang gantungan dan pada tahun 1963 beliau selamat dari upaya pembunuhan.

Karya perdananya yang ditulis saat beliau berusia 20-an adalah ”al-Jihad fi al-Islam" yang merupakan jawapan dari penyataan Mahatma Ghandi bahwa agama Islam tersebar luas dengan pedang. Karya tulis ini mendapatkan sambutan baik dari penyair sekaligus filosuf subcontinent, Muhammad Iqbal.

Selain itu, Maulanan Maudoodi telah menulis lebih dari 120 buku, dan buku-buku tersebut telah diterjemahkan ke berbagai bahasa yang diantaranya Arab, Inggris, Jerman, Turki, Persia, India, Perancis, Bengali dan Bahasa Indonesia. Karyanya yang monumental adalah tafsir Quran dalam bahasa Urdu yang berjudul "Tafhim al-Quran". Ia menghabiskan waktu selama 30 tahun untuk menulis tafsir tersebut. Karakteristik utama tafsir ini adalah mengedepankan relevansi Quran dengan kehidupan manusia sehari-hari baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial.

Pada bulan April 1979, Maulana Maudoodi terserang penyakit ginjal yang sudah dideritanya sejak lama. Walaupun sudah mendapatkan perawatan yang intensif di New York, penyakit yang dideritanya tak kunjung sembuh. Beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tanggal 22 September 1979, diusianya yang ke-76 dan dimakamkan di kediamannya, Lahore. Sebagian pemimpin-pemimpin pergerakan Islam diseluruh dunia datang kepakistan untuk mengucapkan ta’ziah. Solat jenazah beliau dipimpin langsung oleh Prof. Dr. Yusuf Al-Qardhowi.

Latar Belakang Ide Mendirikan Jamaat-e-Islami Pakistan

A. Asal Usul Jamaat-e-Islami Pakistan (1932 - 1938)
JIP sebenarnya adalah brainchild (karya ciptaan) Maulana Maudoodi (1903-1979) ide mendirikan Jamaat-e-Islami muncul ketika beliau mengigat berbagai masalah yang dihadapi umat Islam India. Maudoodi yakin bahwa tidak ada partai muslim yang akan berhasil kecuali mengikuti standar religious dan etika yang tinggi. Pentingnya partai bukan dilihat dari banyaknya jumlah anggota, tapi terletak pada seberapa jauh antara pemikiran dan aksinya dapat dipegang, karenanya Jamaat-e-Islami pada mulanya adalah merupakan pergerakan da’wah.

Maudoodi juga belajar banyak dari sejarah India. Abul Kalam Azad (1888-1958) pada decade ke-2 di abad 20 melalui jurnalnya Al-hilal mempromosikan partai Hizbullah, sebuah organisasi yang dibentuk untuk membangkitkan kesadaran beragama diantara umat Islam dan melindungi kemaslahatan politisi umat Islam. Pada tahun 1920 Abul Kalam Azad mengusulkan skema organisasi baru, beliau menyarankan umat Islam untuk memilih seorang Amir Shariat di setiap provinsi di India yang dibantu oleh majlis ulama untuk mengayomi urusan keagamaan umat Islam. Maka beliau mengirimkan beberapa orang kawanya yang telah dibai’at ke seluruh provinsi di India untuk membai’at orang lain atas namanya. Diantara utusan beliau itu adalah Mistri Muhammad Siddiq, seorang kawan dekat Maudoodi di tahun 1930 yang mempengaruhi pemikiran organisasi Maudoodi dan banyak membantu mendirikan JIP.

Sebagaiman disebutkan sebelumnya, Maudoodi juga pernah aktif dalam pergerakan Khilafat dan ikut mengorganisasikan umat Islam untuk meraih dukungan. Maudoodi juga belajar dari keberhasilan beberapa organisasi seperti Tahrik-i-Khaksar oleh Inayatullah Mashriqi (1888-1963) yang terkenal bakat organisasinya. Juga belajar dari Ali Jinnah pemimpin Muslim League yang banyak menekankan solidaritas, terorganisir dan bermoral.

Sufisme juga mempengaruhi JIP, sebagaimana Maudoodi melihat dalam tatanan sufi ada model organisasi yang amat berharga yan disebut Khanaqah dimana beberapa orang sufi tinggal di sana agar menjadi lebih dekat dengan syaikhnya. Tatanan yang ada dalam sufi dimana syaikh memainkan peran utama dan sebagai menyerahan diri sampai pemikiran menjadi konsep peran Amir dalam JIP.

JIP telah menciptakan mekanisme, struktur birokrasi dan manajemen yang dapat menahan berbagai tekanan dari berbagai fraksi dan sistem warisan dimana ia beroperasi. Model kekuatan organisasi yan pernah muncul ditahun 1930-an seperti Fasisme dan Komunisme. JIP bukanlah partai dalam artian liberal demokrat dimana suara terbanyak akan menjadikan pengambil kebijakan, tapi ia lebih mirip denga sebuah ‘senjata organisasi’. Buat Lenin, pemimpin pergerakan dijaring masuk melalui doktrin lalu ditugasi untuk memanuver massa masuk dalam barisan perjuangan menetang tatanan politik dan ekonomi yang ada. JIP juga sama, dengan perbedaan ia lebih memfokuskan perhatiannya pada memanuver pemimpin-pemimpin masyrakat, dibandingkan mengorganisasikan massa. Ini adalah ciri awal yang sama dari model Lanin dalam hal ini telah mencampuradukan makna revolusi di dalam ideologi JIP. JIP adalah gerakan da’wah dan juga pertai politik. Ia akan membawa perubahan dengan cara melebarkan batasan-batasannya sendiri dan berperang melawan stutus quo, tapi denga tujuan menenangkan hati para pemimpin dibanding massa. Maudoodi memang akrab dengan literatur komunis.(4)

B. Muncul Jamaat-e-Islami Pakistan (1938 - 1941)
Solusi organisasi Maudoodi terbentuk antara tahun 1938 – 1941. Di tengah krisis yang menggunung Maudoodi menyerukan semua organisasi dan partai Muslim untuk bersatu, tapi himbawannya tidak mendapat tanggapan. Mereka ada yang condong terlalu sekuler dalam cara pandangannya seperti Muslim League, atau terlalu condong pada kesucian spiritual seperti Jamaah Tabligh. Maudoodi mengkritik kekurangan-kekurangan mereka untuk meraih dukungan. Dan beliau menyebut Jamaat-e-Islami sebagai ‘pertahanan terakhir’ yang diperlukan untuk menghadapi keruntuhan tatanan sosial umat Islam di India.

Pada bulan Januari 1939 Maudoodi tiba di Lahore, Phatankot sebuah desa kecil di sebelah Timur Punjab. Tapi kemudian beliau pindah dari pengasingan di desa itu meninggalkan proyek Darul Islam, sebagai institusi pendidikan dan keagamaan yang didirikannya untuk umat Islam, lalu tinggal di Lahore. Di sana Maudoodi melalui jurnalnya Tarjumanul Quran memfokuskan kritikanya terhadap Muslim League.(5)

Maudoodi banyak menulis dan berpergian jauh. Audience setia beliau adalah kelompok intelektual Muslim. Beliau sering mengunjungi Aligarh Muslim Univesity, Muslim Anglo Oriental Colleage di Amritsar, Islamiyah College di Peshawar, Nadwatul Ulama di Lucknow. Karena sambutan para intelektual itu Maudoodi merasa terdorong dan yakin untuk mendiskusikan cita-citanya dengan lebih terbuka. Kepada merekalah, pada tahun 1939 -1940, di depan publik beliau mengusulkan pembentukan sebuah partai baru. Maudoodi disarankan bahwa beliaulah yang pantas dan sanggup untuk memegang tanpuk kepimpinan.

Tujuan Maudoodi adalah untuk mengubah ‘balance of power’ antara ummat Islam, Hindu dan pemerintah kolonial agar berpindah ketangan umat Islam. Beliau ingin memberikan jalan kepada umat Islam agar dapat menemukan jalan keluar bagi kelemahan politik mereka. Pada munya maudodi berfikir untuk skala seluruh daratan India, tapi ketika beliau mulai tinggal di Lahore pada tahun 1939 beliau mulai yakin bahwa kekuatan dan pengaruh politik umat Hindu di India tidak dapat dibendung lagi.(6)

Antara tahun 1938 – 1947 meskipun Jamaat-e-Islami masih terus beroperasi di India, tapi perhatian Maudoodi lebih banyak terfokuskan pada provinsi sebelah Barat Utara yang mayoritas Muslim. Meskipun beliau tidak berbicara mengenai pembagian India (khususnya untuk Muslim), tapi beliau menyepakati kenyataan politisi yang ada pada saat itu. Maudoodi sendiri menyatakan bahwa dirinya tidak pernah menentang tuntutan Muslim League untuk membagi India, tapi yang ditentangnya adalah sikap sekuler partai itu.

Pada tanggal 26 Agustus 1941, 75 orang hadir atas undangan Maudoodi di rumah Maulana Zafar Iqbal. Undang-undang dasar partai disetujui dalam pertemuan yang berlangsung selama tiga hari itu. Dan disepakati bahwa Jamaat-e-Islami akan dipimpin oleh seorang Amir dengan kekuasan terbatas.

Pembicaraan mulai menghangat ketika masuk kepada siapa yang akan menjadi Amir partai. Ada dua orang calon kuat selain Maudoodi: Muhammad Manzur Nu’mani, salah seorang Maulana Deoband dan editor jurnal Al-Furqan sebuah majalah ternama di Lucknow; Amin Ahsan Islahi, editor penerbitan Al-Islah, Murid dari Sayyid Sulaiman Nadwi dan Hamiduddin Farahi dan juga guru di Darul Ulum. Tapi pada tanggal 27 Agustus 1941 mayoritas memilih Maudoodi.(7)

Pada tahun 1945 dalam ijtima’ (rapat) partai seluruh India yang pertama kali Maudoodi terpilih kembali sebagi Amir. Saat itu di Phatankot hadir 800 orang. Perhatian rapat antara tahun 1943 -1947 terpusat bagaiman memecahkan masalah internal, biasanya seputar etika dan disiplin. Misalnya ceramah Maudoodi pada rapat di Allahabad dan Muradpur pada tahun 1946, dan di Madras dan Tonk tahun 1947 terkosentrasi pada bagaimana membangun karakter, dan menyesalkan disiplin dan moral yang lemah.(8)

Tentang masalah Pakistan, sejak didirikannya, JI tidak memiliki sikap yang jelas tentang itu. Tapi ketika ide Pakistan sudah semakin nyata Maudoodi memutuskan untuk menyetujuinya. Lalu beliau melepaskan Jamaat India dari bawah komandonya dan menjadi Amir untuk Jamaat-e-Islami Pakistan. Kini ide Jamaat-e-Islami yang diusung oleh maudoodi itu tetap eksis di beberapa negara di subcontinent diantaranya di India, Bangladesh dan Jammu & Kashmir.

Jamaat-e-Islami Pakistan Setelah Maudoodi
Pada tahun 1972 tampuk kepimpinan JIP beralih kepada Mian Tufail Muhammad, dan beliau merupakan teman akrab Maudoodi sejak awal berdirinya JIP. Dibawah kepimpinan Mian Taufail JIP memainkan peran yang sangat signifikan dalam membantu pemerintahan Zia ul Haq dalam masalah perperangan Afghnisatan melawan Soviet Union. Dan juga ikut dalam pemilu tahun 1985. Mian Tufail memimpin JIP sampai tahun 1987. Amir sekarang, Qazi Husaien Ahmad yang terpilih menjadi Amir sejak tanggal 6 November 1987 merupakan sosok yang sangat berpengaruh dalam kancah dunia perpolitikan di Pakistan. Gagasan pertama untuk bergabungnya partai-partai agama di Pakistan dibawah satu payung partai yaitu Muttahida Majlis-e-Amal (MMA) merupakan ide dari Amir JIP yang sekarang yang bertujuan menyatukan visi dan misi partai-partai agama demi untuk memperbaiki sistem pemerintahan di Paksitan yang notabenenya dipimpin oleh tentara.

Jumlah kader inti JIP secara keseluruhan adalah 15,824 orang. 1,295 adalah wanita. Jumlah anggota 2,844 orang. Simpatisan 56,455 orang, dan 9,381 diantaranya adalah wanita. JIP memiliki kantor diseluruh pakistan sebanyak 1,317 kantor. 1.932 kelompok binaan kader (studies circles) yang mengatur permasalah da’wah (tablighee), organisasi, politik. Semua program ini tiap bulan dilaporkan ke Markaz JIP di Mansoorah Lahore.(9)

Sistem yang dipakai oleh JIP adalah sistem majlis syura. Amir dipilih oleh majlis syura setelah memperhatikan dan mempertimbangkan segala masukan dari para anggota. Dalam struktur organisasi seorang Amir memiliki 6 orang wakil Amir. Dan setiap wakil amir tersebut menjadi ketua di departemen-departemen yang ada. Disana ada beberapa departemen dalam sistem organisasi JIP, diantaranya: departemen organisasi, pedulian agama (religious awareness), training, Public Affairs, Broadcast and Publication, Public Relations, election cell, dll.

JIP dalam mengembangkan sayapnya tidak terbatas pada satu wajihah saja, akan tetapi banyak wajihah yang dipakai untuk mengembangkan da’wah dan pengaruh ditengah-tengah masyarakat. Diantara wajihah-wajihah tersebut adalah:(10)

  1. Kissan Supplies Service, yaitu persatuan para petani.
  2. Pakistan Islamic Medikal Assosiation (PIMA), persatuan para dokter-dokter.
  3. Al-Khidmad Fondation (NGO)
  4. Shabab-e-Milli, organisasi pemuda yang sudah tamat belajar dan para pemuda yang tidak ada kesempatan utuk belajar.
  5. Pakistan Business Forum.
  6. Tehreek-e-Mehnat Pakistan (Labour Movement).
  7. Islami Mizamat-e-Ta’aleem (Islamic System of Education)
  8. Islami Jamiat Thalaba (man & women)
  9. Jamiat Thalaba Arabia ( in religous institusion)
  10. Schools Organization in all provinces, Bazmey Shahi (Sarhad), Bazmey Phegham (Punjab),
  11. Bazmey Sathi (Sind), Bazmey Shahbaz (Balochistan), Bazmey Mujahid (Kashmir).
  12. Islami Jamiat Wukala, organisasi para pengacara.
  13. Jamiat Islami Linnisa’
  14. Engineer Association.

Kesimpulan

Alhamdulilah dengan makalah siangkat ini, penulis mengaharapkan kita dapat memahami pergerakan JIP mulai dari latar belakang berdirinya sampai polemik yang terjadi di anak Benua ini sehinggal lahirnya JIP ditengah-tengah komunitas masyarakat sebagai salah satu Jamaah atau organisasi yang menginginkan ishlah (perbaikan) lewat da’wah dan sekaligus lewat jalur politk praktis. Walaupun dalam perjuanganya JIP – bisa digolongkan – belum begitu berhasil meraih kekuasaan di Pakistan, paling tidak kontribusi mereka terhadap memperbaiki masyrakat setempat banyak dirasakan oleh orang banyak.

Mungkin barangkali, kenapa JIP kurang begitu berhasil dalam merahih suara dalam tiap-tiap pemilu, mungkin dikarenakan kurangnya konsilidasi yang mengakar kebawah. Selama ini garapan yang mereka tekankan adalah bagaimana mempengaruhi para intelektual masyarakat dan para akademis kearah memahami agama Islam yang syamil, yang diharapkan dari para akademis ini mereka dapat mempengaruhi para pengikut mereka sehingga melahirkan masyarakat yang dinamis dan berkeadilan. Tapi, ciat-cita tersebut sempat terkendala karena tidak adanya konsilidasi kebawah sehingga masyarakat golongan menengah kebawah tidak tergarap dalam proses pembentukan pemahaman mereka terhadap agama itu sendiri. Wallahuallam bishowab.

Footnote
* Makalah ini di diskusikan pada tanggal: 5 Juli 2006 di hostel 4 International Islamic University, Islamabad oleh Forum Kajian Islam Al-qalam (FKIQ).
(1) Lihat: “A to Z of Jehadi Organization in Pakistan” 2005. oleh Muhammad Amir Rana, hal: 425. Publisher Marhal Books, New Garden Town, Lahore.
(2) Untuk lebih jelasnya tentang tujuan berdirinya JIP, silakan baca “Al-Jamaah al-Islamiayah fi Bakistan: Da’wah, Manhaj, Nizham, Dustur” Oleh Khalil Ahmad Al-Hamidi, Darul Al-‘Arubah Lidda’wah Al-Islamiyah, Mansoorah- Lahore. Tanpa tahun.
(3) Riwayat hidup ini penulis petik dari berbagai buku dan artikel, diantara buku tersebut ialah: “Sayyed Abul A’ala Maudoodi and His Thought” oleh Prof Masudul Hasan. “Maudoodi Thought and Movement” oleh: Syed Asad Gilani. “Introduction Maudoodi” oleh: Misbahul Islami Farooqi. Dan artikel dari majalah The Muslim World “Authobiographi Abul A’ala Maudoodi” oleh: Sayed Vali Reza Nasr.
(4) Lihat: “The Vanguard of the Islamic Revolution” bagian pertama berjudul “History and Development” hal: 1-5, oleh Sayyed Vali Reza Nasr. I.B Tauris & Co Ltd, 1994.
(5) “Sayyed Abul A’ala Maudoodi and His Thought” oleh Prof Masudul Hasan. Hal: 1/166.
(6) “Sayyed Abul A’ala Maudoodi and His Thought” Loc.cit hal: 1/167.
(7) ibid, hal: 1/244.
(8) ibid. hal: 1/256.
(9) Lihat: “A to Z of Jehadi Organizations in Pakistan” 2005. oleh Muhammad Amir Rana, hal: 425-426. Publisher Marhal Books, New Garden Town, Lahore.
(10) Untuk lebih jelasnya tentang isntitusi yang ada di bawah JIP silakan rujuk; “A to Z of Jehadi Organizations in Pakistan” ibid, hal: 427-432.

Referensi
  1. A to Z of Jehadi Organization in Pakistan, 2005. oleh Muhammad Amir Rana, hal: 425. Publisher Marhal Books, New Garden Town, Lahore.
  2. Al-Jamaah al-Islamiayah fi Bakistan: Da’wah, Manhaj, Nizham, Dustur, Oleh Khalil Ahmad Al-Hamidi, Darul Al-‘Arubah Lidda’wah Al-Islamiyah, Mansoorah- Lahore. Tanpa tahun.
  3. The Vanguard of the Islamic Revolution, oleh: Sayyed Vali Reza Nasr. I.B Tauris & Co Ltd, 1994.
  4. Sayyed Abul A’ala Maudoodi and His Thought, oleh: Prof Masudul Hasan. Islamic Publication (PVT) LTD. Lahore, 1st edition 1984.
  5. Maudoodi Thought and Movement, oleh: Syed Asad Gilani. Islamic Publication (PVT) LTD. Lahore, 1st edition 1984.
  6. Introduction Maudoodi, oleh: Misbahul Islami Farooqi. Student Publication Bureau, Karachi, 1968.
  7. Artikel dari majalah The Muslim World Volume: LXXXV, No: 1-2 Januari-April, 1995 “Authobiographi Abul A’ala Maudoodi” oleh: Sayed Vali Reza Nasr.

Militansi dan Madrasah di Pakistan: Studi Kasus Lal Masjid


Pendahuluan

Madrasah Pakistan pada akhir-akhir ini menjadi topik perdebatan yang tidak ada habis-habisnya. Madrasah dianggap sebagai ‘biang keladi’ pertumpahan darah diantara sekte-sekte yang ada di Pakistan. Anggapan ini bukannya tidak beralasan, sejak dua dekade yang lalu, tepatnya pada akhir 70an dan awal 80an ketika revolusi Iran - sampai sekarang - pergolakan anti syiah semakin gencar di gaungkan oleh kalangan madrasah sunni Deobandi(1) dan Ahli Hadith dalam rangka membendung pengaruh syiah di Pakistan, dan tidak sedikit nyawa melayang dalam tiap-tiap perkelahian diantara dua sekte ini.(2) Namun demikian, perkelahian antar madrasah ini tidak hanya terjadi diantara sunni-syiah saja, akan tetapi juga terjadi antara sesama penganut paham sunni (baca: school of Thougth) lainnya - contohnya deobandi dan barelwi – yang banyak berbeda dalam masalah fiqh yang tidak terlalu prinsipil.

Dari segi perspektif keamanan, sekte-sekte di pakistan mempunyai jaringan sosial, politik dan ekonomi dari lokal dan eksternal. Support yang diberikan oleh Saudi Arabia, Libya, Irak, Iran dan USA dalam membangun madrasah tidaklah sedikit, khususnya ketika perperangan di Afghanistan melawan Uni-soviet mulai pada akhir 70an.

Paska 11 September 2001, pandangan dunia mulai beralih kepada madrasah-madrasah Pakistan. Kalau dulu madrasah dianggap sebagai partner dalam mengusir musuh, kini setelah 11 September madrasahlah yang menjadi musuh bagi banyak kalangan. Kalau mau jujur berdirinya madrasah-madrasah ini tidak lepas dari ikut campur pemerintah Pakistan dan Amerika sendiri. Dan yang lebih parah lagi, madrasah dianggap sebagai ‘Bank Of Terrorist’ yang menjadi ketakutan bagi masyarakat nasional maupun international, khususnya orang Barat.

Sekarang timbul pertanyaan dalam benak kita, apakah benar sumber kekerasan yang ada hanya datang dari madrasah, setelah kasus Lal masjid terjadi ?. Atau ada hal lain yang menyebabkan institusi madrasah begitu disorot akhir-akhir ini? Untuk menjawab pertanyaan diatas, penulis mencoba untuk menjawab melalui tulisan singkat ini.

Gambaran Singkat Pendidikan Agama Islam di Pakistan

Pendidikan agama Islam di Pakistan terbagi kepada tiga kategori :(3)
1. Quranic School
2. Mosque Primary School
3. Madrasah
Yang pertama adalah sekolah dimana anak-anak belajar membaca Al-quran (baca: belajar iqra’). Tempat biasanya di masjid-masjid atau mushalla desa. Waktu belajar tidak teratur dengan jelas. Ada yang pagi, siang dan sore. Ustadz yang mengajar biasanya berasal dari desa tersebut.

Kedua sekolah dasar masjid, yaitu masjid dijadikan tempat belajar bagi anak-anak yang sudah berumur 7 tahun keatas. Inisiatif ini resmi dilakukan oleh pemerintah Zia-ul-Haq pada tahun 80an untuk mengatasi minimnya tempat belajar di pedesaan disebagian tempat di Pakistan. Selain belajar Al-quran mereka juga diajarkan oleh imam masjid setempat mata pelajaran bahasa urdu dan matematika. Namun pendidikan ini sering terkendala disebabkan para imam jarang yang menguasai bahasa urdu dan matematika dengan baik, yang akhirnya kebanyakan sekolah gulung tikar. Sekarang jumlah Mosque Primary School diseluruh Pakistan sekitar 25.000 buah sekolah.

Dan yang terakhir adalah madrasah. Madrasah di Pakistan berbeda dengan pesantren di Indonesia. Di Indonesia para santri tidak diwajibkan untuk manghafal Alquran seluruhnya, kecuali pesantren tersebut pesantren hifzul Alquran. Berbeda dengan di Pakistan, madrasah mewajibkan kepada murid-muridnya untuk menghafal Al-quran 30 juz sebelum belajar materi-materi lain. Karena al-quran merupakan asas bagi pelajar yang ingin mendalamkan ilmu agama.

Ada lima aliran besar pemikiran (school of Thought) di madrasah Pakistan: Deobandi, Barelwi, Ahli Hadith, Salafi dan Syiah. Tiap-tiap aliran pemikiran ini mempunyai metode pembelajaran yang berbeda. Tapi, Deobandi dan Barelwi adalah dua pemikiran yang paling dominan diseluruh madrasah Pakistan.

Madrasah Pakistan dan Jihad Afghanistan

Seperti yang telah disinggung di pendahuluan, bahwa lahirnya madrasah-madrasah di Pakistan tidak lepas dari campur tangan pemerintah dan jaringan international lainnya. Lebih tepatnya lagi, pada tahun 1977 Jenderal Zia-ul-Haq mengambil alih kepimpinan Pakistan melalui kudeta. Dua tahun kemudian Uni-Soviet menyerang Afghanistan yang bertujuan agar mempermudah untuk mendekati kilang-kilang minyak di teluk persia. Melihat ambisi Uni-Soviet ini, Amerika tidak tinggal diam. Ronald Reagen president Amerika pada ketika itu memanfaatkan moment ini untuk menumpaskan kekuasan Uni-soviet yang berkerjasama dengan Pakistan. Reagen langsung mengundang Zia-ul-Haq ke White House dan memberi uang 3 bilion dolar untuk membantu Pakistan melawan Uni-Soviet di Afghanistan. Sejak itu pemerintahan Zia-ul-Haq mulai dengan agenda Islamisasi dalam segala bidang dan tidak mengindahkan segala bentuk protes yang datang dari manapun. Undang-undang yang menyatakan persamaan hak wanita di hapus. Para aktivis demokrasi dipenjara. Disatu sisi pihak pemerintah mulai membangun camp-camp pelatihan mujahidin yang ingin berperang ke Afghanistan berkerja sama dengan pusat badan inteligen Amerika; Central Intelligence Agency (CIA). Sejak itu Berita khusus pakai bahasa arab mulai dikenalkan di Radio dan Televisi Pakistan.(4)

Ketika zaman perperangan Afghanistan-Uni-soviet, madrasah bukan hanya saja tempat generasi muda belajar dan menimba ilmu dari kitab-kitab turath, akan tetapi madrasah juga melatih para santrinya untuk bagaimana mengunakan senjata dan training-training jihad. Madrasah-madrasah yang berorintsikan jihad tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan, khususnya di North Western Frontier Province (NWFP) yang mempunyai perbatasan langsung dengan Afghanistan. Warisan dari conflik peperangan dingin Afghanistan ini menjadi bentuk madrasah-madrasah yang berafiliasi dengan organisasi jihad yang digunakan oleh para aktivis militan dalam menentang pemerintahan dan menuntut untuk menerapkan syariat Islam ala mereka.

Reformasi Madrasah

Sejak awal tahun 2002, hampir tiap bulan terjadi bom bunuh diri di Pakistan. Pada bulan Januari terjadi penyendraan terhadap reporter Wall Street Journal Daniel Pearl dan dia dibunuh pada bulan berikutnya. Pada bulan Maret di tahun yang sama, bom meledak di Gereja Islamabad yang menewaskan 2 orang rakyat Amerika. Di bulan May bom mobil meledak di konsulat Amerika di Karachi yang menewaskan 12 orang Pakistani yang bekerja sebagai satpam.

Melihat berbagai penomena yang terjadi, dalam public speaking yang disiarkan lansung oleh PTV dan Radio Presiden Farvez Musharraf pada tahun 2002 mengumumkan pembekuan beberapa organisasi yang yang berafiliasi langsung dengan jihad. Seperti Jaish-e-Muhammad, Tehreek-e-Nafaz-e-Shariat-e-Mohammadi (TNSM), Sifah-e-Sahabah, Laskar-e-Tayyiba dan Laskar Jhanvi. Dalam kesempatan itu juga Musharraf mengumumkan reformasi terhadap madrasah-madrasah yang ada. Semua maulana diharapkan untuk mengregistrasi madrasah dengan pemerintah. Kurikulum madrasah harus dirubah dengan memasukan pelajaran umum, seperti komputer dan Bahasa Inggris.

Pada awalnya banyak para maulana yang tidak mentaati himbawan dari Musharraf tersebut, karena takut kalau anak didik mereka terpengaruh dengan gaya pendidikan ala barat. Pro dan kotra terjadi dimana-mana. Sehingga wacana reformasi madrasah ini tidak hanya dibincangkan di kalangan para intelektual, akan tetapi hal ini menjadi perbincangan yang hangat di parlemen Pakistan juga.

Melihat himbawan awal yang tidak begitu digubris oleh pemimpin-pemimpin madrasah, akhirnya pemerintah mengancam akan menutup madrasah-madrasah yang illegal dan memulangkan pelajar-pelajar asing yang belajar di Pakistan. Aksi dan ancaman ini keluar setelah bom bunuh diri meledak pada tanggal 7-7-2005 di stasiun kereta api bawah tanah di London. Konon yang tersangka pengeboman tersebut adalah Shehzad Tanweer seorang rakyat Inggris yang pernah datang ke Madrasah Fareedia (sector E-7) dua bulan sebelum pengeboman tersebut.

Berapa jumlah keseluruhan madrasah di Pakistan? Menurut Rahman (2004:311) ada sekitar 10.000 madrasah sekarang di Pakistan dengan jumlah pelajar secara keseluruhan 1.7 milion. Dan penduduk Pakistan yang belajar di madrasah menurut (The International Crisis Groups: 2002) hanya 1/3 dari total penduduk.(5)

Apakah semua madarasah di Pakistan melahirkan militan-militan garis keras? Tidak semua madrasah mendoktrin para santrinya kearah garis keras. Hanya sebagian saja dari madrasah yang ada tersebut yang memang berdirinya sudah mempunyai doktrin tersendiri. Dalam bukunya “A to Z of Jehadi Organizations in Pakistan” Muhammad Amir Rana menjelaskan bahwa madrasah-madrasah di Pakistan yang berorientasikan Jihad relatif minoritas, dari 11 organisasi yang ada hanya 3 yang betul-betul orientasi berdirinya adalah jihad.

Fakta ini juga didukung oleh Peter Bergen dan Swati Pandey dalam opini mereka di New York Time (June 14, 2005) yang berjudul “The Madrasah Myth”. Menurut data yang mereka kaji, dari empat penyerangan: WTC tahun 1993, Embassy Amerika di Kenya tahun 1998, WTC 11 september 2001 dan Bom Bali 2002. 75 orang teroris dibelakang penyerangan tersebut, cuma 9 orang yang jebolan madrasah, selebihnya adalah jebolan universitas barat, khususnya Jerman dan Amerika.

Masih Menurut The International Crisis Groups, Hanya 10 sampai 15 parsen saja dari madrasah-madarasah yang ada di Pakistan yang aktifitasnya yang bersinggungan langsung dengan militan garis keras. Namun demikian mayoritas dari madrasah-madarasah tadi juga andil dalam permusuhan diantara sekte-sekte yang ada.

Kasus Lal Masjid

Lal Masjid (masjid Merah) resmi berdiri pada tahun 1965. Lal dalam bahasa urdu berarti merah, karena pada awal berdiri masjid ini memakai batu-bata merah – persisi sepeti batu-bata bangunan IIU, Islamabad. Namun sekarang batu-bata tersebut tidak kelihatan karena sudah diganti dengan cat berwarna merah. Sejak masjid berdiri banyak pejabat pemerintah, tentara, Prime Minister dan presiden yang telah melaksanakan sholat di masjid bersejarah ini.

President Zia-ul-Haq dan beberapa Inteligen Pakistan (baca: Inteligence Service Investigation-ISI) begitu dekat dengan Maulana Muhammad Abdullah - orang tua Maulana Abdul Aziz dan Abdul Rashid Ghazi – yang ketika itu sebagai imam Lal Masjid. Ketika Afghanistan di serang oleh beruang merah Rusia (1979-1989), Lal masjid memainkan peran yang tidak sedikit dalam merekrut calon-calon mujahidin yang akan dikirim ke Afghanistan. Dengan Karismatik yang dimiliki oleh Maulana Abdullah, President Jeneral Zia-ul-Haq mengunakan kesempatan itu dengan menjadikan beliau sebagai penasehat dan membangun beberapa madrasah di Islamabad dengan bantuan inteligen pakistan yang berkerjasama dengan CIA.(6)

Maulana Abdul Aziz – anak pertama Mulana Abdullah - datang ke Islamabad dari Balochistan ketika beliau berumur 6 tahun. Setelah belajar beberapa tahun di sekolah dasar beliau dikirim ke Jamiah Binnoria di Karachi. Sedangkan adiknya Abdul Rashid Ghazi, Alumnus Universitas Quaid-e-Azam, Islamabad dengan spesialisasi dalam sejarah. Setelah tamat dari Quaid-e-Azam, Ghazi bekerja di UN Culture organization. Kehidupan Ghazi yang pada awalnya terpengaruh dengan western style berobah total setelah ayahnya di bunuh pada tahun 1998. semenjak itu Ghazi resmi bergabung dengan Abangnya maulana Abdul Aziz dan diangkat sebagai wakil imam di Lal-masjid sekaligus menjadi pimpinan madrasah Fareedia.(7)

Masih dalam lingkuangan Lal masjid, disana ada dua jamiah. Jamiah lil banin dan Jamiah Hafsa lil banat yang terpisah oleh tembok. Jamiah Hafsah didirikan pada tahun 1989. Semua jumlah santri yang belajar di sana sekitar 4000 orang. Masing-masing Jamiah ini mempunyai dua departeman. Pertama departeman khusus buat menghafal Al-quaran. Kedua "higher classes" tafsir, usul fiqh, matematika, dan pelajaran umum lainya.(8)

Peta Permasalahan Lal Masjid

Setelah 11 September, pemerintah Pakistan secara resmi mendukung agenda Amerika dalam “war on terror”. Dukungan yang diberikan oleh pemerintah ini mendapat kecaman dari petinggi Lal masjid karena disamping datangnya Amerika untuk membombardir Afghanistan, Amerika juga mengunakan tanah Pakistan yang Yaqobabad sebagai pangkalan udara tentara Amerika. Perizinan yang diberikan oleh pemerintah kepada Amerika tersebut menuai kemarahan bagi rakyat Pakistan termasuk petinggi Lal Masjid.

Pada bulan Juli 2005, salah seorang mantan pelajar Lal masjid dituduh sebagai pelaku pengeboman di stasiun kereta api bawah tanah di London. Polisi Islamabad mendatangi Lal masjid untuk menginvestigasi hal tersebut. Tapi kedatangan para investigasi itu disambut oleh santri Jamiah Hafsa dengan pentungan dan tongkat.

Pada bulan Januari 2007, para santri secara terang-terangan menantang pemerintah yang meroboh beberapa masjid di Islamabad dengan alasan masjid tersebut berdiri tanpa izin (illegal). Petinggi Lal Masjid dan para santrinya menuntut agar pemerintah membangun kembali masjid-masjid yang sudah dibongkar. Melihat tuntutan mereka tidak digubris oleh pemerintah, santri Jamiah Hafsa rame-rame keluar dan menyendera Children Library yang berdekatan dengan Lal-masjid. Para santri juga mengumumkan untuk menjalankan syariat Islam di lingkungan Lal masjid.

Upaya dialog dengan pimpinan Lal masjid sudah dilakukan oleh pihak pemerintah dengan mengutus mentri agama – Ijaz-ul-Haq. Dalam dialog tersebut para santri menuntuk pembangunan kembali masjid yang telah dirobohkan, kalau tidak maka mereka tetap ngotot untuk tinggal di Children Library.

Merasa tuntutan mereka tidak digubaris oleh pemerintah, lagi-lagi pelajar Lal masjid membuat ulah dengan merampas kaset dan CD di Aapara Market lalu membakarnya. Mereka juga menyendra polisi dan beberapa orang rakyat cina.

Melihat penomena ini semakin parah, pada tanggal 3 Juli 2007 mulai operasi curfew di sekirat Lal masjid yang akhirnya mengakibatkan terbunuhnya orang nomor dua Lal masjid Abdul Rashid Ghazi pada tanggal 10 Juli.

Lal masjid-Lal Masjid baru

Apakah aksi kekerasan dan anti pemerintah di Pakistan akan berakhir sampai disini dengan berakhirnya operasi di Lal masjid? Jawapannya tentu saja tidak.

Hal ini kelihatan jelas setelah sehari berakhirnya operasi di Lal Masjid kawasan Swat, Dera Ismail Khan dan Miram Shah menjadi tempat yang sangat empuk bagi para militan untuk menuntut balas terhadap polisi dan tentara. Sampai sekarang sudah lebih dari 200 orang personil polisi dan tentara yang meninggal dunia, dan tidak sedikit rakyat sivil yang menjadi sasaran bom bunuh diri tersebut.

Selang beberapa hari setelah kasus lal masjid berkahir, Tehreek-e-Nafaz-e-Shariat-e-Mohammadi (TNSM) yang berpusat di Malakand Agency (NWFP) mengumumkan mendirikan syariat Islam. Dua hari setelah itu kelompok yang mengatas namakan pemuda Islam di Balochistan juga mengumumkan untuk mendirikan syariat islam. Entah ini cuma reaksi dari kasus Lal Masjid atau sebaliknya, tapi yang jelas keadaan di Pakistan khususnya di kawasan Federal Administrated Tribal Area (FATA) sangat rawan bagi personil polisi dan tentara.

Penutup

Inilah sedikit gambaran tentang militansi dan madrasah di Paksitan. Penulis yakin makalah ini jauh dari sempurna. Namun paling tidak kita semua mengetahui apa dan bagaimana sebenarnya yang telah terjadi. Hal ini sangat penting bagi kita mahasiswa Indonesia untuk mengetahui hal-hal yang terjadi di Negara Jinnah ini, agar kita bisa menyiapkan diri dan berjaga-jaga dalam setiap tindakan. Dan yang lebih penting dari itu adalah mengambil pelajaran atau ibrah dari case ini untuk membangun negara Indonesia yang santun, damai dan sejahtera. Wallahu ‘Allam Bhishowab.

Footnote

* Makalah ini dipresentasikan dalam diskusi bulanan Al-Qalam pada 21 Juli 2007 di sector G-6 Melody Islamabad.
(1) Untuk mengetahui lebih lengkap sejarah Deobandi dan pergerakannya, silakan lihat buku Sohail Mahmoud “Islamic Fundamentalism in Pakistan, Egypt dan Iran” (1995) cet: 1, Vanguard Books Islamabad, hal: 367. dan Dr. Uzma Anzar “A Brief History of Madrasah” (March, 2003), hal: 14 dan seterusnya.
(2) Lihat makalah Katja Riikonen dalam Journal Pakistan Security Research Unit Brief No: 2 yang berjudul “Sectarianism in Pakistan: A Distructive Way of Dealing with Difference” Hal: 3.
(3) Lihat: Dr. Uzma Anzar “A brief history of Madrasah” (March, 2003), Hal: 14-15.
(4) Lihat: tulisan Amir Mir dalam Pengantar buku “A to Z of Jehadi Organization in Pakistan” hal: 5 dan seterusnya.
(5) Candice Lys “Demonizing the “other”: Fundamentalist Pakistani Madrasah and the Construction of Religious Violence”, Marburg Journal of Religion: Vol: 11, No. 1 (June 2006) hal: 2.
(6) Lihat: "Profile: Islamabad's Red Mosque", www. bbcNews.com, 3 July 2007. dan "Lal Masjid: A name synonymous with radical Islam", Associated Press, 11 July 2007. lihat juga di (www.wikipedia.com).
(7) Lihat: www.bbcnews.com, Saturday, 7 July 2007 dan www.wikipedia.com, May 2007.
(8) Lihat wawancara Rebecca Cataldi dengan Abdul Rashid Ghazi (International Center for Religion & Deplomacy), April 23-29, 2007. Hal: 8.